DENPASAR – Memperingati hari buruh internasional yang jatuh pada 1 Mei (MayDay), Aliansi Serikat Buruh Provinsi Bali menggelar aksi di depan Kantor Gubernur Bali pada Selasa (1/5). Mereka menuntut agar upah buruh di Provinsi Bali naik. Dewa Made Rai Budi Darsana, Sekretaris Regional Provinsi Bali meminta Pemerintah Provinsi Bali agar memperhatikan nasib buruh di Bali yang mendapatkan upah yang masih tidak layak.
Fenomena hari buruh selalu menjadi sesuatu hal yang menarik. Hari Buruh yang saat ini populer dengan MayDay berawal dari satu peristiwa bersejarah dalam tradisi perjuangan yang sengit terhadap kelas penghisap dan penindas. Perjuangan tanpa kenal menyerah yang dilakukan jutaan kelas buruh saat itu telah memberikan inspirasi yang tiada terkira. Keteguhan sikap, pengorbanan serta disiplin membara dalam perjuangan yang bergelora membuahkan hasiI yang hingga saat ini dapat dinikmati oleh rakyat di seluruh penjuru dunia.
Salah satu kemenangan besar yang diraih adalah penetapan jam kerja bagi buruh, 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (lima hari kerja) serta mengakhiri segala bentuk kerja paksa dan perbudakan yang terselubung dalam kedok hubungan industrial. Saat ini buruh tidak lagi harus bekerja dengan jam kerja yang panjang 12-16 jam bahkan bisa mencapai 18 jam sehari, namun cukup bekerja 8 jam sehari dan mempunyai banyak waktu yang lebih bagi keluarga serta mengembangkan kebudayaannya.
Namun kini, kemenangan-kemenangan perjuangan kelas buruh di masa Ialu banyak yang tereduksi, jam kerja yang terkadang meiebihi 8 jam, intimidasi terhadap aktivis serikat buruh, serta pelanggaran atas hak normatif buruh.
Satu Mei (MayDay), setiap tahunnya selaIu di peringati oleh klas buruh di seluruh dunia secara gegap-gempita meIaIui berbagai aksi protes dalam bentuk demonstrasi, seminar, rapat-rapat akbar, diskusi terbuka serta dalam berbagai ragam aktivitas Iainnya yang serupa. Tujuan umum dari keseluruhan kegiatan ini dimanapun di berbagai belahan dunia adalah sama, yaitu ingin memperjuangkan hak-hak dasar ekonomi, sosial maupun politik yang selama ini dirampas dan dicampakkan oleh kelas penindas dan banyak rezim anti rakyat diberbagai negeri, terutama di negeri-negeri jajahan, setengah jajahan dan bergantung seperti Indonesia.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kelas buruh di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari paket kebijakan yang dikeIuarkan oleh pemerintahan Jokowi -JK, seperti halnya kebijakan di sektor pengupahan yakni PP 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Faktanya, kelas buruh yang bekerja di perkotaan semakin tertindas dengan berbagai kebijakan pengupahan yang terus mempertahankan skema poIitik upah murah.
Meskipun setiap tahunnya mengalami kenaikan, namun sesungguhnya nilai upah yang diterima selalu defisit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara berturut-turut, kenaikan upah minimum bagi buruh mengalami penurunan yang sangat signifikan. Jika pada tahun 2015 kenaikan upah secara nasional masih di angka 18,6 %, turun menjadi 11.5 % pada tahun 2016 dan hanya naik 8,25% pada tahun 2017. Dan kebijakan ini puIa semakin mengucilkan peran atau posisi tawar Serikat Buruh untuk melakukan perundingan upah karena sudah ditentukan oleh PP 78 Tahun 2015 tersebut, tentu hal ini semakin terlihat jeIas bagaimana rezim Jokowi-JK mempertahankan poIitik upah murah ditengah tingginya harga kebutuhan pokok rakyat.
PHK juga masih terus mengancam kelas buruh dengan dalih perusahaan tutup/pailit, efisiensi dan Iain lain. Sistem kerja kontrak, outsourcing juga masih dipertahankan dan tentu ini merugikan kelas buruh karena sistem kerja ini tidak memberikan jaminan terhadap kelas buruh, serta pemberangusan serikat buruh masih saja terus terjadi tanpa adanya penindakan hukum bagi pengusaha-pengusaha yang melakukan praktek pemberangusan terhadap serikat buruh.
Selain itu, semakin sulitnya akses pendidikan yang layak karena biaya kuliah semakin mahal, yang ditandai dengan Angka Partisipasi Kasar di Pendidikan Tinggi yang rendah, justru semakin memperbesar jumlah angkatan kerja di sektor informal yang bekerja dengan upah rendah. Biaya pendidikan yang semakin mahaI tersebut adalah implikasi dari UU Perguruan Tinggi No.12 Tahun 2012, yang sebenarnya hanya bertujuan untuk melepaskan tanggungiawab pemerintah dalam membiayai pendidikan ke masyarakat meIaIui mekanisme Uang Kuliah Tunggal (UKT). Begitu juga dengan adanya wacana penerapan Kredit Pendidikan (Student Loan), yang melepaskan pembiayaan pendidikan oleh pemerintah melalui skema hutang. Semua hal tersebut semakin mempertegas dan dijaminnya hak kita atas pendidikan layak yang sebenarnya diamanatkan oIeh konstitusi dan UU 11/2005 tentang hak-hak ekonomi, sosiaI, dan budaya. Maka dalam situasi sekarang May Day tidak lagi hanya mencerminkan perjuangan dari kelas buruh semata tetapi lebih dari itu adalah perjuangan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh rakyat tertindas dan terhisap di indonesia. Atas dasar itu kami dari GERAKAN KAUM BURUH BALI menyatakan sikap:
1. Tolak upah murah, cabut PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
2. Hapus sistem kerja kontrak dan outsourcing.
3. Cabut UU Perguruan Tinggi No. 12 Tahun 2012 serta wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis
untuk seluruh rakyat lndonesia.
4. Stop pemberangusan serikat pekerja (union busting).
5. Stop PHK, naikkan upah buruh.
6. Stop eksploitasi pekerja magang/training.
7. Cabut UU No. 2 Tahun 2017 tentang Omas .
8. Stop kriminalisasi terhadap buruh.
9. Bentuk tim pengawas independen.
Laporan: Saverinus Suryanto


