Denpasar, Theeast.co.id – Aktifis lingkungan hidup Bali yang juga adalah Koordinator Forum Rakyat Bali (ForBali) Tolak Reklamasi Teluk Benoa Wayan Gendo Suardana menyesalkan penjelasan hukum Gubernur Bali terpilih I Wayan Koster tentang proses reklamasi Teluk Benoa. “Kami bingung dengan kapasitas Koster saat pernyataan ini dibuat. Bukankah Koster belum dilantik sehingga tidak memiliki kewenangan apapun secara hukum dan politik untuk membatalkan reklamasi Teluk Benoa? Sedangkan fakta hukumnya, 25 Agustus 2018 adalah penentuan berjalan atau tidaknya reklamasi ini karena inilah batas akhir dari penilaian AMDAL. Lalu dengan fakta seperti itu, dimanakah logikanya Koster dapat memastikan reklamsi tidak dapat dilaksanakan sementara secara hukum Koster belum dapat melakukan tindakan atau pelaksanaan kewenangan sekecil apapun,” tanyanya di Denpasar, Senin (27/8).
Gendo mengaku jika pernyataan Koster dipertanyakan oleh semua aktifis lingkungan hidup di Bali yang selama ini berjuang untuk menolak reklmasi Teluk Benoa. “Jikalaupun surat pernyataan dimaksud sebagai bentuk tindakan, bukankah hal ini sama saja hanya sebagai sebuah bentuk tekanan politik semata. Jika demikian, apa bedanya dengan tindakan demonstrasi yang kami lakukan untuk menolak reklamasi Teluk Benoa. Dimana Koster sebelumnya? Kami bahkan melakukan advokasi bukan hanya demo, tetapi jauh melampaui itu termasuk membuat analisis tanding terhadap AMDAL, melakukan hearing ke berbagai lembaga pemerintah, bertemu langsung dengan Presiden, dengan Menteri kelautan dan perikanan, dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sehingga menghimbau kepada kami untuk menghentikan aksi demonstrasi dari orang yang jelas-jelas tidak punya kapasitas apapun saat ini karena belum dilantik sama saja itu tindakan bunuh diri. Lagipula selama 5 tahun kami melakukan aksi demonstrasi, pada kenyataannya Koster juga tidak memberi konstribusi apapun. Lalu apa korelasinya Anda memberikan himbauan seperti itu sedangkan kami masih berjuang memastikan bahwa AMDAL tidak diloloskan sampai batas akhir izin lokasi tanggal 25 agustus 2018,” sesalnya.
Gendo bersama para aktifis lainnya mempertanyakan penjelasan Koster, misalnya soal pemberlakukan izin lokasi yang menurut Koster berakhir pada Desember 2017. Dalam beberapa rilis berita, Koster dengan tegas mengatakan, secara administrarif tidak ada perpanjangan izin lokasi Reklamasi Teluk Benoa. Masa berlaku 5 tahunnya sudah habis bulan sejak Desember 2017. Bila dalam 5 tahun tidak ada kemajuan, maka izin pengelolaan bisa dievaluasi. “Pernyataan ini sangat menyedihkan karena dapat menyesatkan publik. Pernyataan ini mencerminkan jika Koster tidak memahami persoalan dan tidak memahami persoalan hukum reklamasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Maka kami harus meluruskan agar publik tidak bingung,” tegasnya. Proses reklamasi Teluk Benoa saat ini berjalan adalah dengan dasar hukum; izin lokasi reklamasi 445/MEN-KP/VIII/2014 kepada PT. TWBI sebagai perubahan atas izin lokasi reklamasi 383/MEN-KP/VII/2014 yang sebelumnya telah diterbitkan pada 8 Juli 2014. Hal mana izin lokasi tersebut diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Sebagaimana fakta hukumnya, izin lokasi itu berlaku 2 tahun, pada tahap pertama berlaku dari 25 Agustus 2014 sampai 25 Agustus 2016. Selanjutnya berdasarkan hukum dapat diperpanjang satu kali sehingga diberlaku tahap 2 yakni dari 25 Agustus 2016 sampai 25 Agustus 2018. Saat ini izin lokasi secara hukum tidak dapat diperpanjang lagi. Oleh karenanya secara hukum sampai 25 Agustus 2018, izin lokasi masih berlaku sampai pukul 00.00 WIB.
ForBali memastikan jika Koster melakukan kesalahan menganilisis peraturan hukum. “Kuat dugaan kami, Koster memberikan pernyataan dengan menggunakan dasar hukum SK. 2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan dan Pengembangan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali, yang diterbitkan oleh Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika. SK tersebut memang berlaku selama 5 tahun dan berakhir pada tahun 26 Desember 2017. Entah Koster tidak cermat, tidak tahu atau sengaja, bahwa SK tersebut sejatinya sudah dibatalkan oleh Gubernur Bali, I Made mangku Pastika pada 16 Agustus 2013 melalui SK. Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa,” ujarnya. Disana jelas, pada dictum ketujuh menyatakan, “pada saat keputusan ini berlaku, keputusan Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan dan Pengembangan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali dinyatakan tidak berlaku”. Hal ini menunjukan bukti valid bahwa SK yang dijadikan rujukan justru SK yang telah batal secara hukum dan tidak berlaku lagi. “Dengan demikian siapakah seungguhnya yang tidak mengetahui duduk permasalahan dari persoalan ini?” tanyanya sinis.
Terkait dengan Perpres No 51 Tahun 2014, Koster juga menjelaskan secara keliru. Menurut Koster, Perpres Nomor 51 tahun 2014 yang tidak perlu dicabut. Dikatakan bahwa Perpres itu khan bukan hanya soal reklamasi teluk benoa, tapi ada proyek di daerah lain. Jadi kalau dibatalkan bisa merugikan daerah lain. “Disini jelas Koster tidak memahami secara utuh mengenai Peraturan Nomor 51 tahun 2014 sehingga Koster gagal paham dengan masalah ini,” ujarnya. Secara hukum, Peraturan Nomor 51 tahun 2014 adalah perubahan sebagian dari Perpres nomor 45 tahun 2011 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Perubahan tata ruang yang diatur dalam Perpres No 51 tahum 2014 hanya khusus mengubah tata ruang di kawasan Teluk Benoa dan tidak ada perubahan di tempat lain. Sampai pada lampiran Peta Perpres no 51 th 2014 hanya mengatur perubahan peruntukan ruang di Kawasan Perairan Teluk Benoa yang pada pokoknya adalah mengubah Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjadi kawasan budi daya dan mengatur pemberian izin bagi reklamasi paling luas 700 hektar (vide; pasal 55 ayat (5) huruf b jo. Pasal 101 A huruf g). “Jadi kalau Koster menyebutkan, ‘bukan hanya soal reklamasi Teluk Benoa, tapi ada proyek di daerah lain, adalah pernyataan sesat dan tidak berdasarkan pengetahuan yang cukup serta tidak berdasarkan hukum. Jika fakta hukumnya Perpres dimaksud hanya berlaku bagi pengaturan tata ruang di Teluk Benoa. Bagaimana logikanya pembatalan perpres tersebut akan merugikan daerah lain?” ujarnya.
Berdasarkan fakta-fakta itu, ForBali meminta Koster mempelajari terlebih dahulu mengenai hukum tata ruang khususnya Perpres No 51 tahun 2014 agar tidak terjadi kesalahan fatal dalam melakukan argumentasi hukum. Hal mana keadaan tersebut sangat tidak baik bagi kredibilitas Koster selaku Gubernur Bali terpilih.(Axele Dhae)