Fakta Dibalik Magang Remaja Flotim ke Jepang

528

Oleh –  Theodorus Wungubelen, Orang tua salah satu peserta magang

Tergiur oleh angin sorga Perjanjian Kerja Sama antara Bupati Flotim saat ini dan pihak LPK Dharma Bali, tentang pelaksanaan kerja sama magang bagi orang muda Flotim, maka sebagai salah satu orang tua dari anak yang menjadi korban, beberapa fakta perlu diutarakan agar menjadi pengetahuan publik untuk dipertimbangkan bila masih ada iming-iming program sejenis di masa datang.

Berawal dari info yang beredar di awal tahun 2018 dan setelah mendapat konfirmasi dari Dinas Tenaga Kerja Flotim serta Saudara RSN yang mewakili pihak LPK Dharma Bali, saya mengijinkan anak saya untuk mengikuti program dimaksud. Sekali lagi karena ada keterlibatan Pemda Flotim, maka ijin itu saya berikan.

Dari hasil seleksi baik fisik maupun administrasi, anak saya kemudian dinyatakan lolos untuk di berangkatkan ke Bali bersama 16 peserta perempuan yang lain di bulan Juli tahun 2018.

Bahwa sebelum peserta berangkat, oknum RSN meminta orang tua untuk membuka pinjaman di Bank BRI Unit Pasar Baru, sebesar Rp 21 juta dan diberikan kepada LPK Dharma. Sementara itu sebagai informasi, untuk peserta tahun 2019 diarahkan untuk membuka pinjaman di bank lain di Larantuka.

Informasi peserta terima dari oknum RSN bahwa setiba di Bali mereka akan kursus bahasa Jepang 3 bulan dan mengikuti tes formalitas saja, lalu diberangkatkan ke Jepang, dipekerjakan pada perusahan-perusahaan Jepang dengan gaji antara Rp 7 juta sampai Rp 15 juta, sambil kuliah pada universitas-universitas di Jepang.

Setiba di Bali hanya 15 peserta dari Flotim bergabung bersama peserta dari Bali yang tentu lebih siap mengikuti tes ke Jepang. Hasilnya dari 15 peserta asal Flotim hanya 1 (satu) orang  yang lolos bersama mayoritas peserta Bali.

Kenapa hanya 15 dari 17 peserta asal Flotim yang mengikuti tes ke Jepang, karena anak saya dan satu peserta yang lain, dinyatakan belum cukup umur.

Inilah awal membuat saya kecewa dan sempat marah, kalau belum cukup umur kenapa diberangkatkan ke Bali? Lalu kenapa tidak dipulangkan? Semua ini kami ketahui dari anak, tidak ada komunikasi tentang perkembangan keberangkatan atau kehidupan mereka di Bali dari LPK Dharma.

Belum jelas nasib anak-anak ini, malah pada bulan September 2018 Pemda Flotim dan oknum RSN mengirim lagi 37 peserta ke Bali. Sehingga total peserta tahun 2018 adalah 51 peserta karena ada peserta yang mengundurkan diri.

Tiba-tiba melalui anak, orang tua diinfokan bahwa mereka mau diberangkatkan ke Taiwan. Sebagai orang tua kami tidak bisa berdaya menghadapi obsesi besar anak-anak yang terlanjur terbuai untuk berbakti kepada orang tua mengembalikan pinjaman.

Namun kemudian, hanya beberapa yang sempat diberangkatkan ke Taiwan, dan yang lain termasuk anak saya mau diberangkatkan ke Turki. Sebagai orang tua saya sudah marah sekali dan meminta anak saya pulang. Turki dan Taiwan tentu bukan negara tujuan sesuai perjanjian kerja sama, karena satu-satunya negara tujuan adalah Jepang.

Saya tetap bersikeras anak saya harus pulang, namun anak saya tetap meyakinkan saya untuk mengijinkan dia ke Turki. Kemudian baru saya tahu kalau anak saya bersikeras tetap mau ke Turki karena terbebani hutang pada bank.

Kami juga baru tahu kalau anak saya bersama peserta yang gagal ke Jepang maupun Taiwan di mobilisir ke salah satu Bank di Bali untuk mengajukan kredit di Bank tersebut. Ini kami ketahui setelah anak saya tiba kembali ke Larantuka 1 Agustus 2020, untuk mendaftar di salah satu universitas di Kupang.

Lebih parah lagi, ternyata berdasarkan informasi dari anak-anak yang juga telah mengambil keputusan pulang dari Bali, bahwa tujuan ke Turki dipekerjakan sebagai waitress sesuai dokumen tertulis yang sempat didokumentasikan oleh salah satu peserta pada saat penandatanganan dokumen dimaksud menggunakan handphone.

Waitress adalah istilah untuk pekerja perempuan yang berprofesi sebagai pelayan pada bar, pub, atau restoran. Waitress adalah profesi jasa pelayanan.

Waitress adalah pekerjaan yang halal, baik, tetapi beresiko karena rawan terjerembab ke kehidupan malam yang tidak terkendali. Apalagi anak-anak yang dari “kampung” tiba-tiba dimasukkan ke dunia hiburan seperti ini di negara sekelas Turki yang budayanya sangat berbeda dengan kehidupan orang Lamaholot.

Ternyata rencana keberangkatan ke Turki juga  tidak diberangkatkan oleh LPK Dharma tapi malah dialihkan ke salah satu PT yang bergerak di urusan PJTKI yang beralamat di Bali.

Celakanya anak-anak mau diberangkatkan ke Turki sebagai buruh migran, bukan sebagai peserta magang. Semakin aneh, dokumen khususnya surat pernyataan persetujuan orang tua untuk mengijinkan anak ke Turki, oknum siapa yang tanda tangan?

Fakta yang lain bahwa, ketika tiba di Bali, peserta yang perempuan diinapkan di asrama stikom, laki-laki di asrama politeknik bitdec.  Kemudian peserta pria dipindahkan lagi ke Hotel V 2. Beberapa  waktu kemudian  peserta pria digabung dengan peserta perempuan di asrama STIKOM. Dan yang paling terahkir, semua peserta baik pria maupun wanita dipindahkan ke Ruko Mahendradata. Anak-anak dikumpulkan pada salah satu ruangan di lantai 3, hanya terpisah kamar dan berpintu kaca. Anak-anakpun hanya berbagi satu kamar mandi dan toilet.  Bahkan sampai kepada mencuci piring juga dalam kamar mandi serta yang juga menyedihkan adalah atap dalam keadaan bocor bila hujan.

Fakta-fakta ini ditutupi oleh anak-anak selama di Bali hanya karena takut membebani orang tua, sementara oknum RSN maupun pemerintah daerah dalam hal ini pihak Dinas Nakertrans tidak pernah memberikan informasi apapun.

Tentang biaya hidup yg diungkap oleh saudara RSN, berdasarkan pengakuan anak-anak, posisi sekarang, mereka diberikan uang makan/hari hanya 20 ribu rupiah atau / minggu Rp 140.000.

Bayangkan Rp20 ribu beli makanan apa? Air untuk minum saja tidak bisa kalau hanya Rp 20 ribu. Belum lagi soal fasilitas kamar dan tempat tidur, beralaskan kasur bekas dan tipis di lantai.

Bahwa dalam pertemuan dengan Bupati Flores Timur pada 17 Juli 2020, yang dihadiri oleh Kadis Naker, Saudara RSN, para orang tua juga tidak mendapatkan solusi yang riil. Saya juga hadir tapi tidak bisa bicara terlalu banyak memprotes karena dapat pesan dari anak bahwa “Bapa jangan omong terlalu banyak ingat torang di sini Bali.” Undangan bahwa ada pertemuan ini juga kami diinfokan oleh anak.

Dalam pertemuan tersebut juga saya sempat mengingatkan Pak Bupati bahwa masalah ini bisa berdampak hukum baik materiil, apalagi immateril terkait masa depan anak.

Paling penting di pertemuan tersebut juga Bupati menerima videocall langsung dari peserta baik di Bali maupun yang sudah berada di Taiwan.

Dari materi komunikasi yang terdengar, baik peserta di Bali maupun di Taiwan mengeluh bahkan memprotes. Yang saya ingat peserta dari Taiwan meminta Bupati untuk menanggulangi hutang kuliah mereka di Taiwan dan juga menggambarkan bahwa mereka di Taiwan seolah buruh panggilan, bila ada yang membutuhkan tenaga mereka maka, mereka dipanggil untuk membantu.

Saya juga telah memprotes keras ke Kadis Naker terkait pernyataan saya dalam berita acara yang telah ditanda tangani, bahwa ada materi pernyataan saya di tambah-tambah. Tentang aktifitas perkulihan mereka yang diinformasikan di STIKOM BALI juga ternyata tidak jelas sebagaimana perkuliahan normal adanya.

Untuk itu saya berharap oknum RSN untuk bertobat dan tidak mengiming-imingi keberangkatan setelah selesai Covid. Peserta ini kan diberangkatkan ke Bali jauh sebelum covid19 terjadi.

Para orang tua juga tidak terpengaruh dengan janji saudara RSN bahwa peserta akan diberangkatkan setelah Pemerintah Bali membuka penerbangan ke dan dari luar negeri pada bulan September mendatang. RSN bukan otorisator yang menentukan September semua sudah normal.

Perlu diketahui juga bahwa dokumen Perjanjian Kerjasama dan kesepakatan lainnya  tidak pernah diberikan ke orang tua, segala biaya juga ditanggung oleh pihak Pemda dan dan LPK baik keberangkatan dan kepulangan dari Jepang. Dan harus diingat anak-anak direkrut untuk program magang sebagai implementasi Misi I RPJMD Selamatkan Orang Muda Flores Timur, bukan sebagai TKI.

Yang saya beberkan ini adalah keadaan peserta tahun 2018, tidak termasuk puluhan peserta gelombang 2 tahun 2019.

Yang jelas ada biaya yang keluar dari kas daerah terkait program ini, tapi itu sebatas biaya perjalanan dinas para pejabat yang beberapa kali ke Bali menemui anak-anak sekedar jual tampang.*