Oleh: Arnoldus Dhae, S.Fil
Saya penganut Katolik. Kuliah pun di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Santo Paulus Ledalero. Saat itu memiliki niat yang tinggi untuk menjadi imam Katolik. Karena berbagai alasan mendesak saya akhirnya memilih jalur lain. Dalam bahasa yang sedikit terhibur bagi orang katolik adalah tidak ada panggilan hidup menjadi imam Katolik. Selama sekolah di seminari, di zaman saya, ada mata kuliah, yang mungkin di telinga orang awam agak aneh. Misalnya, Ilmu Perbandingan Agama, agama koq dibanding-bandingkan. Dan yang sedikit lebih ekstrem, di sekolah seperti seminari, ada kuliah soal Agama Islam. Di zaman saya, ada mata kuliah Islamologi. Diajarkan oleh dosen yang khusus di bidangnya, Romo Bene Daghi. Saat ikut program S2, ada lagi mata kuliah Antropologi Agama Islam. Mata kuliah ini diampu oleh DR. Philipus Tule, sang Islamolog Ledalero. Mata kuliah ini menjadi menarik. Semoga sampai sekarang mata kuliah itu masih ada. Menarik karena sekolah calon imam Katolik tapi diajarkan hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Agama lain ada juga. Hindu, Budha, Protestan apalagi karena bersentuhan dengan mata kuliah Sejarah Gereja. Namun dari semua mata kuliah itu, agama Islam paling banyak.
Saya ingat di akhir semester, saat itu untuk S1, dosen Islamologi berkata di depan kelas dengan suara keras, tegas dan sangat meyakinkan mahasiswa calon imam. “Sebagai calon imam, anda harus belajar banyak agama Islam. Perisailah diri anda dengan pengetahuan tentang Islam sebanyak mungkin, semuanya, teologinya, filsafatnya, keimanannya, praktek keagamannya. Supaya anda tidak mudah menjustifikasi saudara yang beragama Islam sebagai Islam garis keras, Islam lucu, Islam KTP dan seterusnya. Sampai kapan pun kita akan terus bertetangga, bersebelahan, bersaudara di NKRI yang tercinta ini. Dengan memahami Islam maka eksistensi anda sebagai orang katolik dan apalagi menjadi imam Katolik akan lebih bermakna, lebih berarti sebab dari sejarahnya, kehadiran Islam di bumi justeru memperkuat iman gereja katolik. Ingat. Kalau anda membenci agama lain maka anda sia-sia belajar di kampus ini bertahun-tahun,” tegas Romo Bene Daghi di akhir semester zamanku.
Lalu apa hubungannya dengan NU. Saat aku masih kuliah, kalau orang sebut NU, maka yang terbayang olehku adalah Gus Dur. Hingga suatu hari, saya lupa persisnya, beberapa saat Gus Dur lengser dari Presden RI, sampai juga presiden paling nyentrik ini ke kampusku di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Saat itu Gus Dur diundang sebagai pembicara di kampusku. Selama berada di lingkungan kampus, Gus Dur sama sekali tidak menunjukkan dirinya sebagai tokoh NU. Dia tampil seperti apa adanya. Bukan hanya itu. Gus Dur berani menegur seorang dosen (saya tidak mau sebut namanya) yang dalam kaca mata Gus Dur terlalu banyak menggunakan istilah filsafat yang tinggi dan melangit. Sekalipun teguran dengan nada guyon ala Gus Dur, tetapi sangat terasa saat itu. Dan menariknya, saat dosen tersebut tersebut diguyoni Gus Dur, lebih dari 750 mahasiswa terpilih yang ikut kuliah umum Gus Dur malah bertepuk tangan meriah mendukung Gus Dur walau tetap dalam situasi akademis ala kampus. Ternyata tidak ada protes. Tidak ada yang tersinggung. Baru kemudian saya tahu bahwa antara Katolik dan NU itu sangat dekat. Saya akhirnya berpikir, benarlah kata-kata Franz Magnis Suseno. “Menjadi Katolik di Indonesia hampir benar menjadi NU-nya Nasrani”. Sulit dipahami kalimat ini. Tapi inilah salah satu benang merah kedekatan NU dan Katolik di Nusantara ini.
Tidak banyak yang saya ketahui tentang kedekatan NU dengan gereja katolik di Nusantara ini. Namun dari beberapa referensi dan jejak digital, kedua entitas ini selalu ada bersama secara terpisah. Co-existensi terpisah. Sulit dipahami? Memang sulit, tapi faktanya ada dan banyak. Keduanya ada bersama dan berbagai hal. Masih ingat dengan segar, ada seorang warga NU yang menggendong bom dari dalam gereja, dan akhirnya meninggal akibat aksi heroiknya menyelamatkan gereja. Ini baru salah satu peristiwa. Masih banyak peristiwa lainnya yang tidak perlu saya uraikan disini.
Di akhir tulisan ini saya secara pribadi mengucapkan Selamat Hari lahir Nahdlatul Ulama (NU) yang ke 95 tahun. Dalam berbagai harapan dan doa kami orang katolik selalu disebutkan NU sebagai pejuang dan pembela Islam Nusantara, pejuang dan pembela agama dan bangsa, pembela lintas-kultural dan kerukunan umat beragama. “Nafas kami katolik, tetapi belahan jiwa kami adalah NU”. HBD NU, GBU. Kupersembahkan tulisan ini untuk HUT NU Ke-95.