Sunday, December 7, 2025

Top 5 This Week

Related Posts

JPU Tuntut 2,3 Tahun dalam Kasus Kejahatan Seksual Anak, Ipung akan Bersurat ke Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan RI

DENPASAR, The East Indonesia – Aktivis perempuan dan anak Bali Siti Sapura atau yang dikenal dengan panggilan Ipung mengancam akan bersurat secara resmi ke Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan RI. Surat tersebut akan berisikan pengaduan tentang tuntutan terhadap kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur. Kasus kejahatan seksual anak di bawah umur dilakukan oleh seorang pelajar asal Jepang berinisial FS (17,5 tahun) dan korbannya adalah adik kelasnya sendiri.

“Tuntutan JPU terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak yakni FS hanya 2 tahun 3 bulan. Yang tiga bulan itu kerja sosial tanpa denda. Tuntutan ini membuat pukulan yang luar biasa buat saya sebagai anak bangsa Indonesia, pukulan keras juga buat aparat penegak hukum Indonesia, dan pukulan keras juga buat anak-anak yang selama ini menjadi korban kejahatan seksual anak yang dilakukan oleh pelaku,” ujarnya Ipung, Kamis (8/12/2022).

Ipung juga mempersoalkan dan bertanya apakah JPU yang menangani kasus FS pernah berurusan dengan kasus kejahatan seksual terhadap anak Indonesia atau yang pelaku adalah anak Indonesia juga. Kalau pernah menangani, apakah tuntutan JPU juga sama dengan tuntutan yang dilakukan terhadap pelaku FS. Ataukah tuntutan ini hanya dibuat khusus kepada pelaku asal Jepang. Apakah WN Jepang berinisial FS begitu istimewa di mata JPU?.

“Saya tidak menuduh ya, apakah ini ada sesuatu di belakang layarnya. Tidak ada makan siang yang gratis. Bukankah begitu?. Sekali lagi saya tidak menuduh,” ujarnya.

Sebab, secara UU juga sebenarnya JPU bisa menuntut minimal. Ini normatif. Sehingga majelis hakim bisa vonis minimal setengah dari tuntutan. Faktanya, tuntutan JPU tidak lebih dari setengah masa hukuman minimal. “Lalu majelis hakim mau vonis berapa tahun? Sebab tuntutan tidak lebih dari setengah,” ujarnya.

Ipung mengaku, tindakan yang tidak enak dari JPU sudah dirasakan sejak pelimpahan tahap kedua. Dalam pelimpahan tahap kedua, dilakukan secara online, tanpa disertakan dengan pelaku atau terdakwa FS. Pelimpahan hanya menyerahkan berkas dan terdakwa hanya lewat online.

“Alasan pembenaran apa? Pandemi juga tidak. Bukankah pelimpahan tahap kedua harus juga diserahkan terdakwa?”

Kejanggalan kedua adalah sidang secara online. Ini juga tidak masuk akal. Persidangan mulai tanggal 6 Desember 2022. Ini juga aneh karena sidang secara online. Padahal tidak ada pandemi atau pandemi sudah bisa diatasi.

“Korban, keluarga korban, para saksi disuruh hadir offline di ruang sidang. Sementara pelaku sendiri disidang secara online,” ujarnya.

Ketiga, kehadiran kuasa hukum korban dipersoalkan oleh kuasa hukum terdakwa. “Sebagai kuasa hukum korban yang diberikan kuasa oleh keluarga korban, saya dilarang atau dianggap oleh pengacara bisa mengganggu jalannya persidangan. Alasannya sudah digantikan posisinya oleh JPU. Kalau memang jaksa dianggap sebagai pengganti kuasa hukum korban bagaimana proses persidangan itu berjalan,” ujarnya.

Tuntutan 2 tahun, 3 bulan penjara. Sementara dalam pasal 81 ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2016 dia menuntutnya atau mendakwahnya dengan hukuman tertinggi sebanyak 10 tahun dan terendah sebagai 5 tahun. “Bila JPU menuntut terendah 5 tahun maka hakim bisa saja memutus setengan dari tuntutan JPU, yakni 2,5 tahun. Faktanya tuntutan pun tidak lebih dari tuntutan minimal,” ujarnya. Ipung berjanji akan melaporkan kasus ini ke Kejagung dan ke Komisi Kejaksaan RI.***AD

Popular Articles