Jejak Walter Spies Tentang Bali dalam Pameran Seni ROOTS

311
Dari Kanan ke Kiri : Danes selaku arsitek, seniman Made Bayak dan Gus Dark. Foto : Dok - The East Indonesia

DENPASAR, The East Indonesia – Seratus tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi pulau tropis yang berada di belahan bumi selatan Indonesia untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, pulau ini menjadi rumah barunya hingga ia meninggal secara tragis selama pendudukan Jepang pada tahun 1942 di usia 47 tahun.

Selama tinggal di Bali, Walter Spies melakukan berbagai hal yang memberikan citraan Bali lebih dari sekadar pulau yang indah seperti kesan pertamanya. Walter Spies melukis dan menghadirkan ketenangan Bali kepada dunia. Seperti diketahui Walter Spies adalah pelukis, juga seorang koreografer yang menghasilkan koreografi tari, ia juga desainer, naturalis, fotografer, kurator, dan konsultan film.

Walter Spies yang telah berkencimpung dalam kehidupan dunia seni dan budaya membuatnya semakin tenggelam dalam melihat dan menikmati Bali, Walter Spies juga memandu tamu asing yang ingin melihat Bali secara langsung.

Ia sangat antusias membagikan pengalaman serta menjelaskan kehidupan dan kebudayaan masyarakat Bali. Bukan sampai di situ, Walter Spies juga turut terlibat dalam membantu melestarikan kesenian tradisional Bali.

Apa yang telah dilakukan Walter Spies secara nyata berakibat membuat semakin sohor Pulau Bali di mata dunia. Maka, bukanlah berlebihan bila ia juga sangat diperhitungkan keberadaannya sebagai bagian dari pionir yang membantu mengembangkan pariwisata Bali.

Dalam hal perkembangan seni lukis di Bali, bersama Rudolf Bonnet, Tjokorda Gde Agung Sukawati, dan I Gusti Nyoman Lempad mendirikan persatuan seniman Bali Pitamaha. Persatuan ini kemudian menjadi gerakan sekaligus menjadi inovator seni Bali baru pada masa 1920-an hingga 1930-an, dimana sentuhan ataupun gaya berkeseniannya masih berlanjut sampai saat ini, dan terbukti telah melewati lintas generasi.

Pada tahun 1930-an Walter Spies berkolaborasi dengan penari Bali Wayan Limbak untuk menciptakan tari kecak. Walter Spieas dan Wayan Limbak telah memodifikasi ritual Sanghyang dengan menambahkan cerita dari epos Ramayana. Hasil karya gubahan Spies dan Limbak kemudian dipopulerkan di berbagai tempat di Bali, bahkan telah banyak dipentaskan baik di dalam negeri maupun manca negara.

Walter Spies semakin menempatkan hatinya pada keindahan Pulau Dewata, saat itu pula ia telah menyadari bahwa Bali dan penduduknya memiliki potensi seni yang sangat besar. Spies mengadopsi bentuk-bentuk seni lokal dan mengembangkannya lebih lanjut. Gaya hidupnya saat itu mungkin mencurigakan, terutama bagi para pejabat kolonial, tetapi ia sangat dihormati oleh penduduk setempat.

Ketika Bali mulai banyak dikenal orang barat, pariwisata di Bali dimulai seolah-olah bersamaan dengan Walter Spies. Ia memikat tokoh-tokoh terkemuka seperti Charlie Chaplin dan Vicky Baum untuk mengunjungi Bali, sehingga boleh dikatakan Spies telah meletakkan batu fondasi bagi pariwisata massal saat ini, yang juga memiliki banyak kekurangan.

Michael Schindhelm menyelamatkan seniman tersebut dari kelupaan pada tahun 2018 melalui bukunya Walter Spies – Ein exotisches Leben. Dalam pameran “ROOTS”, dan kemasan film yang menyertainya, Schindhelm mempertemukan kembali Walter Spies, saat ia kembali ke masa kini, dengan realitas masa kini di Pulau Dewata, Bali.

Kini Bali dengan paradigma perubahan ruang yang diakibatkan perkembangan pariwisata tentunya telah banyak menyita perhatian banyak orang. Pembangunan secara massif yang diakibatkan kebutuhan tingkat hunian dan fasilitas pariwisata tidak sedikit telah menimbulkan dampak yang mengkawatirkan.

Melalui film “ROOTS” Michael Schindhelm menampilkan Walter Spies dalam sejarah sebagai seniman Eropa di Bali, sekaligus memadukan dengan perkembangan Bali kontemporer dari sudut pandangnya. Selain itu, ia mempertanyakan secara kritis perkembangan pariwisata di Pulau Dewata, serta persoalan-persoalan penting seperti degradasi lingkungan, sosial dan budaya serta sejarah kelam kemanusiaan yang pernah ada di Bali.

Ketika Michael Schindhelm mulai meneliti Spies tentang Bali sekitar enam tahun lalu, ia segera menyadari bahwa ia membutuhkan bantuan seniman lokal untuk memahami dan menceritakan kisah tersebut. Berkat saran dan dukungan Horst Jordt di Jerman, ia pertama kali bertemu dengan Agung Rai, ketua Walter Spies Society di Bali, dan melalui dia dengan jaringan orang-orang di sektor budaya di Ubud dan tempat-tempat lain di Bali.

Michael Schindhelm mengenal I Wayan Dibia, salah satu siswa terakhir Limbak, yang dianggap sebagai salah satu peneliti budaya, penari, dan koreografer terpenting di Bali dan yang menciptakan tari topeng tentang Walter Spies sepuluh tahun lalu. Dalam karya Dibia, orang Bali menarikan karakter Spies, Chaplin, dan Margaret Mead: orang Barat, kehadiran fisik mereka, komunikasi gestur mereka, sebagaimana terlihat melalui lensa orang Bali.

Bahkan seniman muda di Bali pun familier dengan kisah Walter Spies. Bersama etnografer dan penari Dewa Ayu Eka Putri, musisi Tutangkas Hranmayena Putu, seniman Made Bayak dan Gus Dark, serta Agung Rai dan I Wayan Dibia, selama beberapa tahun terakhir kami telah berupaya untuk mengeksplorasi kisah Spies dan dampaknya terhadap masyarakat Bali saat ini. Dengan melakukan itu, bagi Michael Schindhelm, ia telah menemukan sisi terang dan gelap dari warisan budaya bersama, yang dicirikan oleh budaya asli yang unik dan berkembang secara dinamis serta pariwisata massal, polusi, dan urbanisasi.

Kolaborasi ini telah menghasilkan pameran dan dokumenter fiksi dengan nama yang sama. Karya pameran Made Bayak dan Gus Dark mengangkat tema-tema utama masyarakat Bali saat ini: pengkhianatan negara, ketahanan budaya spiritualnya sendiri dalam menghadapi masyarakat konsumen global, bentang alam yang terancam, dan genosida 1965/66. Karya-karya ini tertanam dalam peragaan ulang sinematik yang kami buat bersama dari kisah Walter Spies di Bali.

Pemutaran film yang menjadi satu bagian pameran ROOTS di Arma akan diputar di beberapa tempat di Bali, mulai tanggal 21 Mei sampai 14 Juni 2025. Adapun tempat-tempat pemutaran film itu diantaranya: Kulidan Kitchen and Space (21/5), Danes Art Veranda (22/5), ARMA (25/5), Taman Baca Kesiman (27/5), ISI Bali (28/5), STIKOM Bali (3/6), Uma Seminyak (8/6), serta di tutup di ARMA (14/6). Disamping pemutaran film di beberapa tempat, juga diadakan kompetisi mengulas film ROOTS bagi siswa sekolah.

Popo Danes selaku arsitek yang selama ini banyak menyoroti, meneliti mapupun mengkaji perubahan tata ruang Bali menyambut baik pemutaran film ini di tempatnya yakni Danes Art Veranda.

Menurut Popo pemutaran film ROOTS dan diskusi yang akan dilaksanakan bersama pembuat film Michael Schindhelm sekaligus akan menjadi pengingat bahwa semua yang terjadi di Bali saat ini, adalah hasil dari sebuah perjalanan yang panjang, yang terevolusi dengan baik.

“Ini menjadi semakin penting di saat generasi sekarang yang cenderung mengabaikan sebuah proses saat semuanya seolah bisa terjadi secara instant”, tambah Popo.(*)Popo