Moralitas Hukum Pembentukan Undang-Undang

700
FOTO : Dr I Made Hendra Wijaya, SH, MH.

Oleh :  Dr. I Made Hendra Wijaya, SH, MH

Sebuah ringkasan karya ilmiah filsafat hukum yang ditulis pada disertasi diawali dengan menguraikan mengenai Latar Belakang Masalah yang membahas pentingnya penelitian ini, yang dimulai dengan menemukan problematika filosofis, sosiologis, dan yuridis. Permasalahan yang dapat ditimbulkan dalam aspek filosofis apabila di dalam Undang-Undang di Indonesia yang tidak dilandasi oleh nilai moral yang terdapat di dalam Pancasila, maka Undang-Undang sebagai perwujudan dari hukum yang syarat akan nilai-nilai dan bukan terbatas pada kehendak kekuasaan penguasa menyebabkan tidak adanya pembatasan terhadap penuangan kehendak penguasa di dalam Undang-Undang, apakah Undang-Undang tersebut nantinya berdasarkan kehendak yang baik (Good Will) atau berdasarkan kehendak yang tidak baik (Bad Will) dari penguasa atau akan menjadi Machstaat yang berjubah Rechstaat.

Permasalahan yang dapat ditimbulkan dalam aspek sosiologis apabila pembentukan undang-undang dibentuk dan diterapkan tidak berlandaskan pada nilai moral yang terdapat dalam nilai bangsa yaitu Pancasila dapat menimbulkan perubahan paradigma masyarakat Indonesia terhadap nilai moral dikehendaki oleh Pancasila, sehingga masyarakat Indonesia akan mengikuti perilaku yang diperintahkan oleh Undang-Undang yang tidak berisikan nilai moral yang terdapat dalam Pancasila dengan jelas sebagai wujud pengaturan yang mengatur kehidupan masyarakat Indonesia yang dapat menyebabkan perbedaan pemahaman terhadap pengertian dalam melaksanakan nilai moral yang terdapat dalam Pancasila dan dapat menyebabkan degradasi moral di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Permasalahan yang dapat ditimbulkan dalam aspek yuridis jika dilihat Pada Pasal 2 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan seolah-olah hanyalah sebatas sebuah pernyataan ataupun hanya sebagai bentuk pengakuan bahwa Pancasila merupakan Sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, namun di dalam Undang-Undang tidak menjelaskan bagaimana seharusnya menuangkan sistematika nilai moral yang terdapat dalam Pancasila sebagai bentuk alat ukur dari validitas norma yang terdapat di dalam Undang-Undang, maka hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kekosongan norma dalam menjabarkan Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara, sehingga dapat menimbulkan ketidaksesuaian nilai utama yang dituangkan dalam setiap Undang-Undang yang di bentuk.

Penelitian ini, melihat secara Ontologi dari topik permasalahan yang dibahas, dimulai dari pembahasan mengenai hakikat moralitas hukum. Dalam pembahasan mengenai hakikat moralitas hukum, pembahasan ini dimulai dari membahas mengenai moral manusia, sehingga menemukan tahapan-tahapan moral yang terdiri dari tahapan berfikir, tahapan kehendak, dan tahapan berperilaku. Dalam tahapan berfikir merupakan tahap mencari atau menetapkan nilai, dengan ruang lingkup Indria (sense), A priori, Rasional. Setelah tahap berfikir mengarah tahap kehendak yaitu tahap proses mencoba mewujudkan nilai secara empiris dengan ruang lingkup Otonomi kehendak (autonomy of the will); dan Heteronomi kehendak (heteronomy of the will).  Kemudian ke tahap perilaku yaitu tahap menjadi kebiasaan, nilai baru, atau contoh bagi generasi selanjutnya, dengan ruang lingkup Kebiasaan yang berasal dari pemikiran imperatif dan Kewajiban.

 Setelah mengetahui tahapan moral, Bab ini selanjutnya membahas mengenai moralitas hukum yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan moral terkandung dalam norma hukum yang terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu unsur materiil yang terdiri dari nilai yang disepakati dan kejujuran terhadap isu hukum, unsur formil yang terdiri dari politik hukum; dan proses pembentukan hukum (law making process), dan unsur kewajiban hukum yang terdiri dari implementasi hukum (law implementation) dan Penegakan Hukum (law enforcement). Selanjutnya pembahasan dilakukan mengenai Hakikat dari Undang-Undang yang dimulai dari sebuah pertanyaan “apakah Undang-Undang merupakan produk hukum, produk politik ataukah Undang-Undang sebenarnya adalah produk hukum dan produk politik? Dalam pembahasan ini, perintah (norma) hukum tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya kekuatan politik. Secara positivistik, hukum perlu adanya pengakuan (positif) secara politik agar menjadi pasti, tegas dan tetap. Tanpa kekuatan pengakuan politik Undang-Undang hanyalah sebuah teori yang tidak dapat digunakan sebagai alat memaksa, namun dengan adanya kekuatan politik dengan maka penerapan Undang-Undang dapat dipaksakan, dan diharapkan arahan dalam konsep Undang-Undang dapat menjadi kebiasaan masyarakat bahkan menjadi keyakinan dalam diri manusia secara individu ataupun secara sosial bermasyarakat.

Selanjutnya mengenai Hakikat Moral Pancasila dalam Pembentukan undang-undang merupakan norma dari Pancasila yang diformulasikan di dalam setiap redaksional konsep norma Undang-Undang yang dibentuk, sehingga dapat mengaktualisasikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Kemudian, dilanjutkan dengan membahas Risalah Rapat Pembentukan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia untuk menemukan dasar logika dalam pembentukan undang-undang, antara lain: Risalah Rapat Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Risalah Rapat Pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Risalah Rapat Pembentukan Undang-Undang Republik  Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Penelitian ini membahas pengaturan moralitas dalam pembentukan undang-undang di Indonesia yang dilakukan secara epistemologi yaitu dengan menggunakan beberapa pendekatan antara lain Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (Statute Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach), Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Pendekatan Sejarah (historical approach) dilakukan dalam pembahasan Disertasi ini antara lain masa awal kemerdekaan indonesia tahun 1945,  masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950, masa berlakunya Dektri Presiden 5 juli Tahun 1959, masa berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XX/MPRS/1966, masa berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000, masa berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 10 Tahun 2004, masa berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 dan perubahannya.

Pendekatan Peraturan Perundang-Undangan (Statute Approach), yang digunakan dalam Disertasi ini untuk membahasan dengan menggunakan pendekatan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu membahas mengenai proses pembentukan undang-undang di Indonesia anta lain tahap perencanaan dalam pembentukan undang-undang, tahap penyusunan dalam pembentukan undang-undang, tahap pembahasan dalam pembentukan undang-undang, tahap pengesahan atau penetapan dalam pembentukan undang-undang, tahap pengundangan dalam pembentukan undang-undang. Pembahasan selanjutnya dalam Bab ini menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu menggunakan konsep tiga lapisan dari Ilmu Hukum dalam pembentukan undang-undang antara lain pembahasan mengenai filsafat hukum dalam pembentukan undang-undang, teori hukum dalam pembentukan undang-undang, dogmatika hukum dalam embentukan Undang-Undang, serta membahas mengenai analisis hubungan antara filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatika hukum dalam pembentukan Undang-Undang.

Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach) digunakan dalam pembahasan ini berkaitan dengan perbandingan pengaturan moralitas hukum dalam pembentukan undang-undang di negara Amerika Serikat (The United States of America) yang nilai-nilai pembentukan hukum berasal dari nilai-nilai yang terdapat dalam Yunani Kuno, Romawi Kuno, Eropa, serta nilai-nilai yang terdapat dalam kitab Taurat dan Kitab Injil.

Perbandingan pengaturan moralitas hukum dalam pembentukan undang-undang di negara Belanda (Netherlands) yang merupakan negara sekuler yang menfokuskan pembentukan undang-undang pada kesejahteraan umum dan memisahkan nilai-nilai Agama. Perbandingan pengaturan moralitas hukum dalam pembentukan undang-undang di negara Arab Saudi yang merupakan negara agama yang menfokuskan pembentukan undang-undang berdasarkan ajaran agama yang dianut negara tersebut yaitu Agama Islam. perbandingan pengaturan moralitas hukum dalam pembentukan undang-undang di negara India yang merupakan negara sekuler, dlaam pembentukan undang-undangnya memisahkan antara nilai yang terdapat dalam konstitusi negara dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Masyarakat.

Penelitian ini membahas kesesuaian pembentukan undang-undang di Indonesia dengan moralitas hukum yang dilakukan secara aksiologi. Pembahasan yang dilakukan dalam bab ini untuk menciptakan nofelty dengan menawarkan pendekatan moralitas sebagai indikator ukuran dalam pembentukan undang-undang yang terdiri dari 3 (tiga) elemen yang disebut dengan 3 (tiga) “P” yaitu Pembentuk, Pembentukan, dan Produk. Selanjutnya pembahasan dalam Bab ini adalah memberi kritikan berdasarkan kriterian pendekatan yang dibahas sebelumnya yaitu kritik terhadap pembentuk dalam pembentukan undang-undang di Indonesia, kritik terhadap proses pembentukan undang-undang di  Indonesia, kritik terhadap substansi Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia.

FOTO : Suasana Ujian Terbuka Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Studi Doktor Ilmu Hukum.

Kritik terhadap Pembentuk Undang-Undang di Indonesia

Berdasarkan pada Alenia Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Maka, untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia sangat diperlukannya kehadiran seorang pemimpin yang hikmah/bijaksana dan memahami tentang Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum di Indonesia. Berkaitan dengan  pembentukan undang-undang, maka pembentuk undang-undang harus mampu menciptakan sebuah karya dalam bentuk undang-undang yang selaras dengan tujuan bangsa serta sesuai dengan Pancasila. Berdasarkan hal tersebut, kualitas sebuah karya apapun pasti dipengaruhi oleh si pembuat karya. Sehingga, dalam pembahasan ini persyaratan calon pembentuk undang-undang (Legislator) dalam membentuk undang-undang untuk terciptanya kualitas dari undang-undang yang dibentuk. Hal tersebut, juga berkaitan dengan amanat dari Pancasila yaitu Sila Keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” Maka, dapat disimpulkan bahwa amanat dari Sila Keempat ini, bahwa Bangsa Indonesia diwajibkan memiliki pemimpin yang penuh hikmat bijaksana dengan menggunakan sistem demokrasi permusyawaratan dan perwakilan.

Dalam pembahasan sebelumnya, mengukur kebijaksanaan dapat dilihat dari Aspek Pengalaman Akademis; dan Aspek Pengalaman Akademis. Maka, apabila dilihat dan disandingkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemilu) sebagaimana telah diubah dengan  Undang-undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemilu Perubahan), perlu di kritisi secara normatif untuk mencapai hal yang ideal sesuai dengan amanat Pancasila Sila Keempat, untuk dapat dipertimbangkan dikemudian hari. Aspek yang perlu dikritisi dari Pasal 169 huruf r Undang-Undang Pemilu dan Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Pemilu adalah aspek pengalaman akademisi dari Calon pembentuk Undang-Undang (Legislator) yaitu huruf d dan huruf e.

Pasal 240 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pemilu yang mengatur mengenai “dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam “Bahasa Indonesia”. Kemudian, penjelasan Pasal 240 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pemilu menyebutkan “Persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan unhrk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”. Redaksional pasal tersebut jika dilihat dari tingkat pendidikan dan teknologi saat ini, persyaratan tersebut tidaklah relevan dan kurag mengdalam untuk mencapai pemimpin yang hikmah dan bijaksana jika diukur berdasarkan pada hanya mampu untuk dapat berbicara, membaca, dan/atau menulis dalam “Bahasa Indonesia” akan tetapi perlu adanya penambahan redaksional yaitu “mampu menggunakan pemikiran analisis dan berkemampuan kognitif”.

Pemikiran analitis (Analytical Thinking) adalah pemahaman situasi/masalah dengan menguraikan masalah tersebut menjadi bagian-bagian kecil, atau melacak implikasi dari situasi tersebut bertahap. Termasuk didalamnya menyusun bagian-bagian tersebut secara sistematis; membuat perbandingan dari aspek-aspek yang berbeda; menetapkan prioritas secara rasional; mengidentifikasi urutan waktu, hubungan Sebab-Akibat atau hubungan Jika-Maka. Pentingnya kemampuan Pemikiran analitis (Analytical Thinking) yaitu”:

  1. Pengambilan Keputusan yang Lebih Baik, yaitu Kemampuan ini membantu individu dalam mengumpulkan dan menganalisis data secara objektif sebelum membuat keputusan. Ini mengurangi kemungkinan keputusan impulsif dan meningkatkan peluang untuk membuat pilihan yang tepat dan berdasarkan fakta.
  2. Penyelesaian Masalah Efektif, yaitu Dalam menghadapi masalah kompleks, kemampuan ini memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi akar masalah dan mencari solusi yang efektif. Proses pemecahan masalah yang terstruktur membantu menghindari solusi sementara dan mencari pendekatan yang lebih berkelanjutan.
  3. Meningkatkan Kreativitas dan Kemampuan Kognitif, yaitu Analytical thinkingmembuka kesempatan untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang, yang dapat menginspirasi pemikiran kreatif dan inovatif. Dengan menganalisis permasalahan secara mendalam, seseorang dapat menemukan solusi yang unik dan tidak terduga.
  4. Kemampuan Beradaptasi, yaitu, dalam era yang cepat berubah, kemampuan analytical thinking memungkinkan seseorang untuk beradaptasi dengan situasi yang baru dan kompleks. Dengan memahami informasi dengan cermat, individu dapat merespons perubahan dengan lebih baik dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
  5. Peningkatan Kemampuan Belajar, yaitu Ketika kita berpikir analitis maka akan melibatkan kegiatan mental yang aktif, seperti mencari informasi tambahan, menyusun pola, dan memecahkan teka-teki. Semua ini membantu meningkatkan kemampuan belajar dan memori jangka panjang.
  6. Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Berpikir analitis membantu seseorang untuk mengorganisir pemikirannya secara lebih terstruktur, sehingga dapat dengan jelas dan efektif menyampaikan ide dan argumen.

Pentingnya tambahan redaksional mampu menggunakan pemikiran analisis bagi calon pembentuk undang-undang (Legislator) adalah untuk memperoleh pembentuk undang-undang yang professional dan bijaksana sebagai pemimpin atau indvidu yang membentuk undang-undang, yang memiliki kualifikasi sebagai pengambilan keputusan baik, pembentuk undang-undang (Legislator) yang dapat menyelesaikan masalah efektif, pembentuk undang-undang (Legislator) yang kreatif dalam melihat masa depan bangsa, dapat beradaptasi dengan kehidupan rakyat di segala laisan dan golongan, selalu meningkatkan kemampuanbelajar dan menguatkan kegiatan mentalnya, serta memiliki kemapuan komunikasi yang baik. Sehingga, dengan kemampuan calon pembentuk undang-undang (Legislator)yang seperti hal tersebut, maka Negara Indonesia akan mendapatkan pemimpin yang cerdas, professional dan bijaksana dalam membuat undang-undang sesuai dengan amanat dari Pancasila Sila Keempat,

Pemikiran Kognitif ialah merupakan sebuah kemampuan untuk mengetahui (mengerti, memahami, dan menghayati) dan mengingat apa yang diketahui itu berlandaskan pada rasio atau akal.  Pentingnya berkemampuan kognitif ini, masuk ke dalam persyaratan adalah untuk melihat tingkat mental dan emosional dari calon anggota pembentuk undang-undang (Legislator), sehingga dalam hal membentuk undang-undang, para pembentuk undang-undang (Legislator) tidak terpengaruh oleh keinginan di luar dari pada kewajiban moralnya (moral of duty) sebagai seorang pembentuk undang-undang yang dipercaya membawa keyakinan rakyat untuk mewujudkan kontrak sosial (contract social) ke dalam bentuk hukum berupa undang-undang.

Dalam pembahasan ini, kritik terhadap pembentuk dalam  pembentukan undang-undang di Indonesia berkaitan dengan persyaratan pendidikan. Pasal 169 huruf r yang mengatur persyaratan pendidikan paling rendah Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dan Pasal 240 ayat (1) huruf e Undang-Undang Pemilu dan penjelasan Pasal 240 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pemilu. Berdasarkan hal tersebut, persyaratatan mengenai pendidikan yaitu calon pembentuk undang-undang (Legislator) berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat, sangat tidak relevan pada saat ini. Hal tersebut dikarenakan, sebagai seorang pembentuk undang-undang (Legislator) harusnya sudah menguasai dan memahami metode analisis, konsep, teori dan berfikir filsafat. Sebab produk yang dihasilkan berupa undang-undang adalah sebuah produk yang sakral yang dapat mempengaruhi kehidupan seluruh rakyat Indonesia.

Selain itu, ketidakrelevanan persyaratan berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat untuk calon pembentuk undang-undang (Legislator) jika disandingkan dengan persyaratan pendidikan bagi calon anggota KPU, KPU Provinsi dan calon anggota Bawaslu dan Bawaslu Provinsi yaitu pendidikan paling rendah strata 1 (S-1). Berkaitan dengan pendidikan untuk calon pembentuk undang-undang (Legislator), agar tercapainya pemimpin yang bijaksana, persyaratan calon pembentuk undang-undang (Legislator) diwajibkan dengan persyaratan minimal jenjang pendidikan adalah dengan menyelesaikan pendidikan secara akademis pada tahap Doktor atau Doktor Terapan atau sudah mendapatkan Gelar Guru Besar (Profesor).

Hal tersebut, disebabkan pada selain hasil karya ilmiah yang pernah di ciptakan, dalam proses pembelajaran pada tahap Doktor atau Doktor Terapan, minimal calon pembentuk undang-undang (Legislator) sudah pernah mengalami proses dalam mempelajari pemikiran secara filosofis, yang artinya bahwa pembentuk undang-undang (Legislator) sudah memahami cara menganalisis dalam proses berfikir, dan sudah tersbiasa dalam memikirkan permasalahan secara mendalam serta dapat memprediksi konsekuensi dari produk undang-undang yang dibentuk. Hal tersebut dikarenakan undang-undang adalah Produk Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan landasan atau dasar untuk memberikan tolok ukur berdasarkan analisis dalam perilaku masyarakat saat ini hingga di masa generasi mendatang.

Dalam pembahasan ini, kritikan yang dilihat dari aspek pengalaman praktik, yang berkaitan dengan Pasal 241 Undang-Undang Pemilu yang berkaitan dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Perlu adanya penambahan ayat yaitu “Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, c, dan d telah lulus dalam pendidikan politik yang diselenggarakan oleh Partai Politik selama 3 Tahun”, sehingga sangat penting sebagai verifikasi pertama untuk memastikan pendalaman pengetahuan politik bakal calon pemimpin bangsa yang sesuai dengan Politik Bangsa yaitu Pancasila. Kemudian, dalam pemilihan waktu 3 tahun adalah berdasarkan masa tempuh pendidikan tingkat sekolah menengah tingkat pertama, pendidikan tingkat sekolah menengah tingkat atas, dan masa tempuh pendidikan strata 3 yang dilaksanakan setidaknya 3 tahun.

 Kritik terhadap Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia

Kritik yang terhadap proses  pembentukan undang-undang di Indonesia dalam pembahasan ini adalah kritikan mengenai aspek Naskah Akademik (NA) dari Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perubahan I, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perubahan II. Jika dilihat dari Naskah Akademik (NA) Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan 77 halaman halaman pembahasan dan tidak dengan tambahan halaman dari Daftar Pustaka, sedangkan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berisikan 104 pasal. Naskah Akdemik (NA) Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Perubahan I dengan 47 halaman pembahasan sedangkan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Perubahan I berisikan 18 point perubahan pasal. Nasakah Akdemik (NA) Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Perubahan II dengan 111 halaman pembahasan, sedangkan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Perubahan II berisikan 19 point perubahan. Maka, Naskah Akademik (NA) tersebut terkait dengan kompisisi pembahasan dengan banyaknya pasal di dalam undang-undang tidak sesuai. Sebuah Naskah Akademik (NA) lebih mendalam dari sebuah Desertasi, yang mungkin desertasi sendiri minimal halamannya melebihi dari 200 halaman. Jadi dalam hal ini, seolah-olah Naskah Akademik (NA) hanya sebagai kata pengantar dari Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka dalam hal pembahasan ini, ditawarkan dalam pembentukan Naskah Akademik (NA) terdapat 2 tahap.

Tahap pertama adalah menjelaskan secara detail terperinci dan tersistematis yang dibuat sebelum dibuatnya draf undang-undang. Sebuah Naskah Akademik (NA) bukan hanya menjelaskan secara umum mengenai tujuan undang-undang dibentuk, namun harusnya Naskah Akademik (NA) sebagai wadah untuk menunjukkan hakikat akademik sebuah norma hukum didalamnya sebelum dibentuk menjadi undang-undang, sehingga terlihat bahwa undang-undang adalah produk dari politik hukum yang berlandasankan pemikiran akademik.

Naskah Akademik (NA) harusnya lebih detail dan sistematis dalam menjelaskan kenapa konsep pasal atau redaksional pasal bisa terbaca seperti itu. Naskah Akademik (NA) juga menjelaskan alur yang dilalui sehingga terbentuknya redaksional pasal seperti itu, mulai dari menjelaskan relevansi filosofis Pancasila dikarenakan bangsa Indonesia telah memutuskan bahwa Pancasila merupakan dasar fiosofis negara dengan tujuan di bentuknya undang-undang, maka setiap redaksional pasal yang dituangkan dalam undang-undang harus dijelaskan di dalam Naskah Akademik (NA), bahwa pasal tersebut mewakili atau menerjemahkan setiap sila dari Pancasila. Selain itu, apabila terdapat perlu adanya pemikiran filosofis diluar Pancasila, maka di dalam Naskah Akademik (NA) dijelaskan kenapa pentingnya menformulasikan filsafat tersebut dalam tujuan dibentuknya undang-undang. Naskah Akademik (NA) juga dapat menjelaskan alasan mengenai keberadaan filsafat Pancasila hingga terbentuknya asas-asas dalam undang-undang tersebut. kemudian dari filsafat, Naskah Akademik (NA) juga dapat menjelaskan teori apa saja yang digunakan dalam menganalisis filsafat yang sudah diformulasikan dalam asas-asas yang disepakati tersebut, menjadi sebuah konsep atau terwujud menjadi redaksional pasal per pasal dalam undang-undang yang dibentuk.

Tahap kedua adalah pasca pembahasan di DPR mengenai Draf undang-undang, bahwa Naskah Akademik (NA) direvisi dengan menjelaskan hasil daripada pembahasan pasal demi pasal yang di lakukan di Baleg. Naskah Akademik (NA) hasil revisi berisikan risalah rapat secara detail mengenai pembahasan undang-undang, sehingga terlihat jelas konsep pasal atau redaksional pasal tersebut, serta arah dari ditetapkannya undang-undang tersebut sudah sesuai dengan filsafat Pancasila dan tujuan dari dibentuknya undang-undang tersebut.

Kritikan selanjutnya terhadap pengaturan mengenai penyusun Naskah Akademik (NA) adalah mengenai penyusun dari penyusunan Naskah Akademik (NA). Jika dilihat berdasarkan kata Naskah Akademik (NA) yang terdiri dari 2 suku kata yaitu Naskah dan Akademik. Secara etimologi “Naskah” berasal dari bahasa Arab disebut “nushkhatum” artinya adalah potongan kertas, karena umumnya naskah ini berbentuk lembaran yang perlu dikoreksi. Kemudian menurut KBBI, naskah diartikan sebagai karangan yang masih ditulis dengan tangan, karangan seseorang yang belum diterbitkan, bahan-bahan berita yang siap untuk diset, rancangan, dan karya cipta seseorang yang dianggap sebagai karya asli.

Kata akademik secara etimologi yang berasal dari bahasa Yunani adalah “academos” yang berarti sebuah taman umum (plasa) di sebelah barat laut kota Athena. Setelah itu kata acadomos berubah menjadi akademik yaitu semacam tempat perguruan. Jadi akademik adalah keadaan orang-orang yang bisa menyampaikan dan menerima gagasan, pemikiran, ilmu pengetahuan, dan sekaligus dapat mengujinya secara jujur, terbuka dan leluasa. Menurut KBBI, akademik adalah sesuatu yang berhubungan dengan akademis, dan akademis diartikan sebagai mengenai (berkaitan dengan) akademi dan/atau diartikan sebagai hal bersifat ilmiah; bersifat ilmu pengetahuan; bersifat teori, tanpa arti praktis yang langsung.

Menurut Pasal 1 angka 11 Menurut Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perubahan I, Naskah Akademik (NA) adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan undang-undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Maka, berdasarkan pembahasan tersebut Naskah Akademik (NA) dapat diartikan sebagai sebuah tulisan, karangan dan/atau berupa rancangan yang didalamnya berisikan tentang gagasan, pemikiran dan penyampaian yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabka secara ilmiah.

Penyusun Naskah Akademik (NA) di lingkungan DPR berdasarkan Pasal 51 ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pembentukan Undang-Undang, berdasarkan peraturan ini yang diberikan kewenangan menyusun Naskah Akademik (NA) kepada Komisi, gabungan Komisi, Badan Legislasi dibantu oleh Badan Keahian DPR, dan Tenaga Ahli alat kelengkapan DPR Sedangkan, jika di lihat di lingkungan pemerintah berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memberikan kewenangan Pemrakarsa dan berkoordinasi dengan Menteri dalam menyusun Naskah Akademik (NA), sedangkan Pemrakarsa yang dimaksud dalam peraaturan ini adalah Menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang mengajukan usul penyusunan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Perpu, Rancangan PP, Rancangan Perpres, atau pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi yang mengajukan usul Rancangan Perda Provinsi dan pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang mengajukan usul Rancangan Perda Kabupaten/Kota.

Berdasarkan hal diatas yang berkaitan dengan penyusun Naskah Akademik (NA) baik itu di lingkungan DPR maupun di lingkungan pemerintah, bukanlah seorang akademisi, melainkan bagian dari lembaga negara yang lebih cendrung berkaitan dengan praktik. Secara etimologi lembaga-lembaga tersebut yang diberikan kewenangan dalam menyusun Naskah Akademik (NA) tidaklah relevan dalam menyusun Naskah Akademik (NA), harusnya yang disusun oleh lembaga tersebut bukanlah Naskah Akademik (NA) melainkan Naskah Kebijakan. Maka, Naskah Akademik (NA) harusnya dibuat oleh Tim yang terdiri dari gabungan seorang akademisi khususnya akademisi di bidang Ilmu Hukum dengan jenjang pendidikan paling rendah adalah strata 3 (S3) yang bergelar doktor dan/atau seorang Guru Besar (Profesor) berdasarkan bidang hukum yang sesuai dengan tujuan undang-undang yang dibahas. Alasan mengenai penyusun dari Naskah Akademik (NA) harus jenjang pendidikan jenjang pendidikan paling rendah adalah strata 3 (S3) yang bergelar doktor dan/atau seorang Guru Besar (Profesor) dikarenakan seseorang dengan gelar Doktor telah dilatih untuk menciptakan sebuah karya ilmiah berdasarkan analisis secara filsafat dan seorang Guru Besar (Profesor) tentu saja sudah memahami secara mendalam mengenai keilmuannya dan sudah terbiasa untuk menciptakan sebuah karya ilmiah secara mendalam sesuai dengan bidang ilmunya.

 Kritik terhadap Substansi Undang-Undang Tentang Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia

Dalam pembahasan ini, mengkritisi adanya kekosongan norma yang berkaitan dengan kejelasan konsep norma. Dari penjabaran Pasal 2 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”. Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memberikan penjelasan bagaimana menuangkan atau menjabarkan Pancasila ke dalam norma yang akan di bentuk. Dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan:

“Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa penjelasan tersebut hanya mengarahkan pada keberadaan Pancasila yang akan diwujudkan sebagai sumber dari segala sumber hukum negara disesuaikan seperti yang tercantum dalam Alenia Keempat (ke-4) Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjabarkan Pancasila menjadi 5 (lima) Sila dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih lanjut, dalam penjelasan menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara, serta menyarankan setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, selain itu penjelasan ini tidak menjelaskan materi muatan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan seperti apa yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, sehingga hal ini akan menimbulkan perdebatan dan banyak penafsiran terhadap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Walaupun sudah terdapat pengaturan mengenai indikator nilai Pancasila sebagai pedoman dalam pembentukan kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Indikator Nilai Pancasila mengatur:

(1)   Indikator Nilai Pancasila digunakan sebagai pedoman dalam pembentukan kebijakan dan peraturan perundang undangan oleh lembaga negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, dan pemerintahan desa.

(2)   Pembentukan kebijakan dan peraturan perundang undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pemantauan dan peninjauan kebijakan dan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan indikator diatas, terdapat beberapa undang-undang yang dibentuk tidak menggunakan Indikator Nilai Pancasila sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Indikator Nilai Pancasila dalam pembentukan norma dalam undang-undang yang dibentuk. Seperti halnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang maupun dalam Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Cipta Kerja, tidak ditemukan Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Indikator Nilai Pancasila sebagai landasan dalam  pembentukan undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang ini.

Selain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang maupun dalam Naskah Akademiknya, tidak ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa maupun Naskah Akademik (NA) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa mencantumkan Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Indikator Nilai Pancasila sebagai landasan dalam  pembentukan undang-undang ini. Berdasarkan hal diatas, maka perlunya pengaturan setingkat Undang-Undang yang mengatur mengenai indikator nilai Pancasila sebagai salah satu bentuk mewujudkan Pasal 2 Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Penjelasan pasal akan sulit untuk menjelaskan secara spesifik dan konkret tentang bagaimana merumuskan Pancasila ke dalam konsep norma dalam undang-undang seperti halnya Sila Pertama akan menjadi bentuk Asas yang mana dalam undang-undang tersebut, atau teori apa yang akan digunakan sehingga konsep norma pasal tersebut terbentuk yang berasalkan dari salah satu Sila dari Pancasila ataupun asas tersebut merupakan wujud dari keseluruhan Sila dari Pancasila. Jika pentingnya mengisi kekosongan norma dalam penjabaran lebih lanjut dari Pasal 2 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara” sehingga lebih konkret, maka dapat dilakukan dalam Naskah Akademik (NA), sehingga penjelasan bagaimana menjabarkan nilai Pancasila menjadi konsep norma dalam undang-undang terlihat dengan jelas, dengan pembahasan secara ilmu pengetahuan yaitu terciptanya argumentasi yang terukur berdasarkan pemikiran yang rasional, mendalam, komprehensif, tersistematis, evaluatif dan metodis.

Selain itu, dengan adanya Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Indikator Nilai Pancasila sebagai bentuk konkret dan telah memiliki legalitas secara positif dalam mengaktualisasi nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan sebagai bentuk moralitas hukum di Indonesia dalam  pembentukan undang-undang di Indonesia. Maka, secara moral, apabila suatu undang-undang dibentuk sejak diberlakukannya Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Indikator Nilai Pancasila tidak memperhatikan indikator nilai Pancasila sebagai pedoman dalam  pembentukan undang-undang di Indonesia, maka undang-undang tersebut dapat dikatakan sebagai suatu undang-undang yang tidak bermoral.

Sebagai suatu komitmen secara dari sudut pandang hukum positif, seharusnya sejak diberlakukannya Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Indikator Nilai Pancasila selalu dijadikan salah satu pedoman yang mendasar dalam  pembentukan undang-undang di Indonesia. Sehingga, pembahasan dalam Penyusunan Naskah Akademik (NA) Rancangan Undang-Undang di wajibkan untuk selalu berpedoman pada Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Indikator Nilai Pancasila agar dapat memberikan penjelasan yang jelas dan detail bahwa suatu norma Pasal yang diatur dalam undang-undang yang dibentuk sudah mengaktualisasi atau sudah mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila

Berhubungan dengan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam hal memperkuat keberadaan dari Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Indikator Nilai Pancasila sebagai pedoman atau sebagai indkator dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang. Maka, pentingnya memberikan penjelasan mengenai kewajiban memperhatikan Indikator Nilai Pancasila sebagai pedoman dalam pembentukan undang-undang. Letak penjelasan mengenai kewajiban memperhatikan keberadaan Indikator Nilai Pancasila sebagai pedoman dalam pembentukan undang-undang dapat dimuat dalam  Bab V Lampiran I Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengaenai Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang membahas yang membahas Jangkauan, Arah Pengaturan, Dan Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, Atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan hal tersebut, dalam disertasi ini menawarkan sebuah saran perubahan untuk mengisi kekosongan norma dari penjabaran Pasal 2 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara” dan perubahan penjelasan dalam Bab V Lampiran I Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengenai Teknik Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang membahas mengenai Jangkauan, Arah Pengaturan, Dan Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, Atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selain kritikan terhadap penjabaran Pasal 2 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan kritikan terhadap mengenai keberadaan Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Indikator Nilai Pancasila dalam  Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam hal ini kritikan berkaitan dengan “kejelasan konsep norma” yaitu mengenai redaksional “materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen)”, yang termuat dalam Lampiran II point 237 huruf b yang berkaitan dengan 64 ayat (2) Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berhubungan dengan dicabutnya undang-undang. Selanjutya, redaksional “Jika suatu Peraturan Perundang-undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Perundang-undangan, sebaiknya Peraturan Perundang-undangan tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian, yang termuat dalam Lampiran II point 238”.

Berdasarkan hal tersebut, dengan adanya redaksional lebih dari 50%, menunjukkan ketidak jelasan konsep norma yang dapat membuat munculnya banyak undang-undang yang diundangkan, hal tersebut, akan sangat menyulitkan dan/atau membingungkan rakyat yang tidak memahami tentang hukum ataupun tidak memahami cara membaca undang-undang, seperti halnya adanya undang-undang dirubah hingga 6 kali perubahan. Contohnya undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dirubah dengan undang-undang antara lain:

  1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan kemudian diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang;
  4. Dari Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan;
  5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan;
  6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  7. Berkaitan dengan hal tersebut, undang-undang yang dibentuk terlebih dahulu melakukan menyesuaian atau harmonisasi di dalam Naskah Akademik (NA) undang-undang yang akan dibentuk diselaraskan dan atau diharmonisasikan dengan Naskah Akademik (NA) ataupun undang-undang yang berkaitan. Jika dilakukan Harmonisasi terlebih dahulu, maka sebaiknya undang-undang langsung diganti dengan dengan undang-undang pembentukan yang baru sehingga rakyat dapat melihat norma di dalam undang-undang tersebut dalam satu naskah, bukan terpisah pisah yang akhirnya membuat kebingungan bagi siapa saja yang membaca.

Penutup dari dari hasil penelitian ini yang berisikan kesimpulan, yaitu: Pertama, hakikat moralitas hukum dalam pembentukan undang-undang di Indonesia terletak pada Pancasila sebagai moralitas hukum negara Indonesia yang tertuang dalam implikasi politis, implikasi etis dan implikasi yuridis yaitu untuk mewujudkan keadilan hukum yang berlandaskan pada nilai ketuhanan yang terkandung dalam Sila Pertama, nilai kemanusiaan yang terkandung dalam Sila Kedua, nilai persatuan yang terkandung dalam Sila Ketiga, nilai kerakyatan yang terkandung dalam Sila Keempat dan nilai keadilan yang terkandung dalam Sila Kelima Pancasila. Kedua, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara substansial mengukuhkan Pancasila sebagai landasan moral hukum yang utama dalam proses legislasi dan sebagai acuan yang esensial dalam memastikan setiap undang-undang yang dibentuk merefleksikan nilai-nilai moralitas hukum Indonesia. Namun pengaturan moralitas hukum dalam pembentukan undang-undang di Indonesia belum diatur secara secara eksplisit dan rinci dalam proses pembentukan undang-undang. Ketiga, pengaturan pembentukan undang-undang di Indonesia saat ini belum sepenuhnya selaras dengan moralitas hukum yang diharapkan sebagaimana terkandung dalam Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara. Salah satu faktor utama yang menyebabkan ketidaksesuaian tersebut adalah disebabkan tidak adanya ketentuan yang secara tegas dan sistematis menjelaskan metode penuangan nilai-nilai Pancasila ke dalam norma hukum yang diatur. Hal ini menjadi faktor krusial belum optimalnya perwujudan Pancasila sebagai pondasi moralitas hukum dalam setiap produk legislasi.

Adapun saran yang diberikan pada penelitan disertasi ini kepada pembentuk undang-undang yaitu pertama, perlu adanya pengaturan untuk mewajibkan pelaksanaan pendidikan dan kurikulum pendidikan politik berbasis nilai-nilai Pancasila secara berkala bagi para calon pembentuk undang-undang (Legislator) yang diselenggarakan oleh Partai Politik berkerja sama dengan lembaga akademik yang memiliki kredibilitas dalam bidang hukum dan ilmu poitik. Kedua,  perlu adanya penambahan norma pengaturan yang lebih konkret mengenai penjabaran Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dengan ditambahkan 1 ayat untuk dijabarkan lebih lanjut ke dalam Naskah Akademik. Ketiga, perlu diperhatikan dalam membentuk undang-undang terhadap adanya “indikator nilai Pancasila” yang harus selalu dijadikan sebagai pedoman yang mendasar dalam pembentukan undang-undang di Indonesia.**