Politik Minus Malum

1551

Oleh: Eustakius Meo

Sebuah pesta Demokrasi yakni pemilihan Peresiden sebentar lagi akan dilakukan di Indonesia pada tahun 2019 yang akan datang. Berbagai persiapan dari setiap figur yang mau maju sudah mulai dilakukan, mulai dari urusan administrasi, strategi dan emosional diri.

Di bawah ini penulis mau mengupas sedikit tentang bagaimana pola memilih pemimpin yang baik yang di kupas dalam sebuah wacana perbincangan antara penulis dan seorang dosen. Dalam memilih seorang pemmpin harus menggunakan prinsip” minus malum”

Memilih seorang pemimpin yang paling kurang keburukannya. Mengapa?

Prinsip minus malum berangkat dari anggapan dasar bahwa tidak ada pasangan calon yang memuaskan dan tampil meyakinkan sebagai pemimpin yang memenuhi seluruh syarat kepemimpinan nasional yang di tuntut.

Menghadapi para calon,orang yang berprinsip minus malum langsung melihat berbagai kekurangannya. Orang seperti ini langsung membayangkan tantangan yang di hadapi daerahnya dan untuk bangsanya ini, jika memiliki salah satu dari mereka sebagai pemimpinya.

Sebab itu kita di anjurkan untuk memilih pasangan yang memiliki keburukan paling sedikit. Keburukan adalah sesuatu yang memperburukan keadaan. Kalau demikian pasangan yang di pilih adalah pasangan yang memiliki resiko paling sedikit untuk mendatangkan keburukan. Hal yang paling jauh yang dapat di lakukan oleh pasangan ini adalah mempertahankan status quo.

Berdasarkan prinsip seperti ini, pasangan calon yang paling baik adalah pasangan calon yang paling sanggup mempertahankan status quo, bukan berarti status quo itu sudah baik tetapi karena ini adalah keadaan buruk, yang harus di jaga agar tidak boleh di perburuk lagi. kemungkinan memperburuk itu ada di dalam semua pasangan calon yang di tawarkan.

Status quo sudah buruk peluang untuk memperburuk ada, maka kita perlu mencari pasangan calon yang paling kecil peluangnya untuk memperburuk keadaan.
Prinsip seperti ini tidak mengatakan bahwa para pasangan calon tidak memiliki kebaikan.

Ada kebaikan, dan mungkin kebaikan itu banyak tetapi yang menjadi fokus perhatian adalah keburukan mereka, sebab keburukan ini di nilai terlampau membahayakan kehidupan bersama. Kebaikan yang mereka tampilkan tidak dapat mengimbangi potensi kerugian yang mereka datangkan.

Oleh sebab itu, orang menjatuhkan pilihanya berdasarkan kecilnya potensi bahaya yang ada pada sepasang calon. Jelas bahwa penafsiran seperti ini sangat pesimitis. sebab itu wajar apabila orang lalu bertanya, mengapa kita tidak memilih pasangan calon yang kebaikannya paling banyak?

Tentu cara pandang dan prinsip pemilihan seperti ini juga mungkin tetapi ini mesti di dasarkan pada pandangan utama ini. bahwa pasangan calon yang kita miliki mempunyai banyak kelebihan dan sedikit kekurangan untuk bangsa kita. memiliki pasangan yang kebaikannya paling banyak hanya mungkin orang tidak cemas akan kekurangan yang ada pada para pasangan calon.

Mereka memiliki sejumlah kelemahan, tetapi kelemahan-kelemahan itu tidak menyentuh secara mendasar keutuhan kehidupan bersama. kalau demikian orang dapat mengabaikan kekurangan ini dan berkosentrasi pada keunggulan.

Berdasarkan penilaian atas keunggulan, akan ditemukan pasangan dengan tingkat keunggulan paling tinggi.

Dari uraian ini dapat di pahami bahwa “minus malum” bukan sekadar sebuah prinsip yang di pakai di tengah sebuah keputusan.

Prinsip ini dapat mengungkapkan sebuah sikap kritis intelektual dalam menghadapi sebuah proses pemilihan sikap ilmiah ini bertolak dari analisa terhadap beragam persoalan yang di hadapi bangsa ini dan berdasarkan penentuan kriteria pemimpin yang ideal.

Apabila dinilai bahwa para calon memiliki kualitas terlampau kurang berdasarkan kriteria tersebut maka adalah lebih tepat jika kita tidak bertanya tentang pasangan calon paling kurang peluangnya untuk memperparah keadaan.

Dengan prespektif seperti ini, kerja sama semua komponen bangsa dituntut. pemilih yang menjatuhkan pilihanya berdasarkan prinsip”minus malum” tidak menggantungkan seluruh masa depan kelompoknya kepada pemimpinya sendiri. Dia sungguh menyadari keterbatasan pemimpinya.

Untuk itu dia mesti turut bekerja. Kerja samanya di ungkapkan terutama dalam kejelian untuk mengawasi dan mengontrol penyelenggaraan kekuasaan itu di lihat dari peluang keburukannya.

Tugas utama sebagai warga yang demikian adalah menjaga agar keadaan tidak bertambah buruk. Ini merupakan sebuah keberhasilan yang patut di syukuri jika ada perubahan kearah perbaikan. Kalaupun itu tidak terjadi kita mesti menjadi sadar bahwa dalam kondisi seperti ini, mempertahankan yang ada sudah merupakan prestasi besar.

Kondisi seperti pada Pilpres mengharuskan kita untuk memikirkan secara serius para pengkaderan para pemimpin bangsa. Hanya apabila ada proses pengkaderan yang melibatkan masyrakat secara luas, kita tidak akan terjebak dalam pilihan-pilihan yang sulit.


Penulis: Eustakius Meo
Alumni : FISIP UNDANA KUPANG
WA : 081237544802
Editor: Remigius Nahal