Memprihatinkan, Volume Sampah di Pantai Sanur 10 Ton Per Hari

927

Denpasar – Volume sampah kiriman yang bersifat musiman di sepanjang Pantai Beaung hingga Pantai Mertasari, Sanur, Denpasar, Bali, mencapai 10 ton per hari.

“Sebagian besar sampah di sini memang sampah kiriman yang merupakan siklus rutin yang terjadi setiap tahun,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Denpasar I Ketut Wisada saat ditemui di Pantai Mertasari, Denpasar, Senin kemarin.

Volume sampah kiriman itu terjadi setiap awal tahun atau Januari dan diperkirakan akan terus meningkat hingga pada Oktober yang mencapai lima kali lipat dibandingkan dengan hari-hari biasa.

Dengan demikian, pihaknya telah mengerahkan tenaga kebersihan yang dibantu komunitas masyarakat dan nelayan agar pantai yang menjadi primadona wisatawan itu tetap bersih.

Dia berharap siklus sampah kiriman itu tidak mengganggu aktivitas warga dan wisatawan yang sedang berlibur di Pulau Dewata.

Selain itu, ia juga meminta kepada masyarakat untuk lebih menjaga kebersihan dengan membudayakan membuang sampah pada tempatnya.

Pihaknya juga mengaku sudah mengatasi masalah warga yang membuang sampah sembarangan dengan memberikan sanksi tegas melalui Perda Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Sampah.

“Di Denpasar sudah tegas sanksi bagi warga yang membuang sampah sembarang, tapi saya belum tahu detail ini sampah dari mana sumbernya,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komunitas Nuduk Sampah Plastik (KNSP) Denpasar, Gus Hadi mengatakan sampah kiriman di kawasan Pantai Sanur itu terjadi karena tingkah polah masyarakat yang tidak ikut serta menjaga lingkungan.

“Saya juga tidak mengetahui secara detail sumber sampah ini, yang pasti ini sampah masyarakat yang dibuang sembarangan,” ujanya.

Selain itu, dia juga meminta pemerintah lebih tegas dalam menerapkan aturan bagi masyarakat yang secara sengaja membuang sampah sembarangan atau membuang ke sungai.

Tumpukan sampah dari Pantai Beaung hingga Pantai Mertasari dipenuhi sampah platik sisa minuman kemasan, sisa pembungkus makanan ringan dan kayu-kayu.

Berbagai Upaya Telah Dilakukan Pemerintah Untuk Mengatasi Masalah Sampah Ini.

Beberapa upaya itu telah dan sedang dilakukan, namun hingga kini sampah masih menjadi persoalan serius bagi pemerintah daerah di Indonesia.

Tak henti-hentinya pemerintah daerah dan pemerintah pusat menggulirkan program dan proyek penanganan sampah. Bahkan tak sedikit yang dikerjakan bersama pihak swasta, tetapi persoalannya seolah tidak tuntas-tuntas.

Persoalan semakin beragam karena volume produksi sampah terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk. Semakin bertambah jumlah penduduk maka semakin banyak volume sampah yang ada.

Hal ini menimbulkan masalah tersendiri karena dibutuhkan biaya tidak sedikit untuk mengatasinya. Artinya, semakin banyak sampah maka semakin banyak orang atau tenaga yang dibutuhkan untuk mengatasinya.

Kalau orang dan alat yang dibutuhkan bertambah maka anggaran atau dana yang harus disediakan akan semakin besar. Ini adalah konsekuensi yang dihadapi semua pemerintah daerah bersama pemerintah pusat.

Ketidakberesan dalam penanganan sampah akan menimbulkan persoalan yang lebih luas. Dari sekadar keluhan dan sindiran hingga kritikan.

Dari suasana ketidaknyamanan karena bau dan berantakan hingga terjadinya banjir yang luas saat musim hujan. Itulah sampah yang sedang dihadapi seluruh pemerintah daerah dari ujung Sumatera hingga ujung Provinsi Papua.

Setiap bulan dan tahun ada saja program rutin yang dijalankan. Namun belum juga beres persoalannya.

Pemerintah pusat telah lama melakukan penilaian terhadap keberhasilan dalam kebersihan kota dan wilayah kabupaten melalui Adipura. Tak sedikit pemerintah daerah gagal meraihnya karena buruknya penanganan sampah.

Bukan hanya yang terkait tempat pembuangan akhir (TPA), tetapi juga masalah teknis dan persoalan penanganannya masih mewarnai pemberitaan media. Persoalannya makin tidak jelas kapan akan bisa diatasi ketika ditilik soal kesadaran masyarakat dalam memperlakukan sampahnya.

OTT Sampah

Kalau bicara soal kesadaran masyarakat maka akan terlihat bagaimana kebiasaannya. Ada banyak yang sadar dan semakin sadar,  tetapi tidak sedikit yang masih tidak atau belum sadar hingga tak peduli.

Yang belum sadar dan tak peduli inilah menyebabkan penanganan sampah tidak tuntas-tuntas. Apalagi perilakunya sering membuang sampah sembarangan.

Bukti bahwa masih banyak warga yang membuang sampah sembarangan adalah ada tulisan di tempat-tempat yang sering menjadi lokasi pembuangan sampah. “Jangan buang sampah di sini” dan  “dilarang buang sampah” adalah tulisan yang menujukkan adanya kebiasaan buruk masyarakat.

Tidak sedikit daya dan upaya pemerintah untuk menyadarkan masyarakat dalam mengubah perilaku yang buruk. Upaya lainnya adalah mengedukasi masyarakat untuk mengolah sampahnya menjadi kompos.

Program pengolahan sampah menjadi kompos juga banyak dilakukan pemerintah daerah dan juga lembaga swadaya masyarakat serta komunitas-komunitas. Hasilnya juga sudah banyak terlihat.

Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat juga ada yang dilakukan lebih tegas. Pemerintah Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, telah menyusun aturan tegas, yakni operasi tangkap tangan (OTT) terhadap warga yang membuang sampah sembarangan.

Dulu pernah ada wacana dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan memasang kamera pemantau di sungai-sungai di ibu kota. Tetapi upaya yang baik dalam mengatasi sampah di sungai sebagai tindak lanjut wacana itu belum ada langkah nyata.

   
Biogas

Selain membuat kompos atau pupuk organik, sebagian orang juga telah berhasil meraih penghasilan dari pengelolaan sampah. Misalnya,  membuat kerajinan dari bahan baku limbah plastik dan kertas.

Selain itu tumbuhnya usaha barang bekas yang tersebar di seluruh Infonesia. Ternyata omzet usaha barang bekas dari hasil pemilahan sampah seperti botol plastik dan kardus bisa ratusan, bahkan miliaran rupiah.

Ini menjadi daya pikat bagi sebagian masyarakat untuk menekuni bisnis dari sampah. Usaha ini tentu saja sekaligus membantu pemerintah mengatasi masalah sampah.

Bukan hanya kompos dan pemanfaatan dengan memilah sampah, apa yang masyarakat di Desa Batumarta Unit I Kecamatan Lubuk Raja, Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, lebih serius dan bernilai. Warga di sana belajar membuat biogas berbahan sampah.

Hal itu untuk mendapatkan bahan bakar gas alternatif guna memenuhi kebutuhan sehari hari. Di samping itu,  tentu saja sebagai upaya mengatasi masalah sampah.

Pembuatan biogas ini masih tahap awal dan nantinya akan menjadi inovasi bagi masyarakat di Desa Batumarta Unit I, kata Camat Lubuk Raja, Ogan Komering Ulu (OKU), Monang Suryadinata di Baturaja, beberapa waktu lalu.

Pembuatan biogas yang dilakukan warga tersebut dibimbing oleh petugas penyuluh pertanian wilayah setempat. Pembuatan biogas menggunakan bahan dari sampah dan limbah seperti kotoran hewan dan kulit buah yang ada di lingkungan masyarakat.

Limbah dan sampah tersebut, diolah untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi gas guna memenuhi kebutuhan rumah tangga masyarakat di desa itu. Proses pembuatan biogas ini dilakukan di kebun percontohan Desa Batumarta.

Peralatan yang digunakan dalam membuat biogas cukup sederhana,  yaitu hanya menggunakan tangki air dan pipa paralon. Peralatannya ternyata amat sederhana dan tidak seperti dibayangkan warga.

Proses pembuatannya diawali dengan mencampur seluruh bahan mulai dari sampah organik, air, hingga kotoran hewan ke dalam tanki air. Dicampur hingga menimbulkan gas dari hasil reaksi kimia.

Biogas merupakan salah satu jenis energi alternatif pengganti bahan bakar minyak yang terbilang baru dan masih dikembangkan guna memenuhi kebutuhan energi dunia, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Meskipun saat ini masih tahap awal, namun pembuatan biogas ini diharapkan dapat terus ditingkatkan hingga tingkat keberhasilannya maksimal.

Kalau nantinya benar-benar berhasil, tanpa banyak dipromosikan pun warga akan mencontoh keberhasilan itu.  Apalagi peralatan yang dibutuhkan sangat sederhana dan cara membuatnya juga mudah.

Terobosan dan langkah ini sejalan dengan upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Bahkan bukan hanya sebagian warga yang tertarik atau berminat mengolah sampah menjadi energi biogas, tetapi juga perusahaan asing.

Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, ada perusahaan asing asal Belgia yang telah berminat mengolah sampah menjadi energi. Kabar ini tentu menggembirakan karena ada fase baru pmgelolaan sampah.

Namun yang terpenting adalah menumbuhkan minat dan kemampuan warga mengolah sampah sendiri untuk energi atau apapun. Sebelum peluang itu dimanfaatkan oleh perusahaan asing.

Penegasan agaknya perlu disampaikan bahwa bukan berarti anti asing, namun kalau komunitas warga mampu mengolah sampahnya menjadi energi, mengapa tidak?.

Laporan: Remigius Nahal