Loker Diskriminatif Dan Masa Depan Bali

515

Oleh: Angga Wijaya

Perekrutan karyawan dengan membuat iklan lowongan pekerjaan (loker) berisi konten diskriminatif dan bernuansa SARA makin menjamur belakangan ini. Terakhir dilakukan oleh sebuah restoran di kawasan Renon Denpasar dan dua hotel di Pecatu dan Jimbaran, Kuta Selatan.  Banyak lagi kasus serupa pada tahun-tahun sebelumnya dan bisa terus berulang jika tidak ada penanganan dari pihak terkait.

Iklan lowongan pekerjaan tersebut dipermasalahkan karena memuat kata ‘non-Hindu’ pada item syarat yang diutamakan yang  kemudian mendapat respon dari masyarakat Bali yang merasa gerah karena dianggap dikriminatif dan menyakiti umat Hindu. Kejadian yang berulang sepertinya tidak dijadikan pelajaran oleh perusahaan baik yang bergerak di bidang pariwisata atau bidang lainnya. Perlu dicari penyebab mengapa mereka mencantumkan kata “non-Hindu” ketika merekrut karyawan. Apakah karena ada kepentingan pribadi dari staff perusahaan yang menayangkan iklan tersebut atas dasar kesamaan suku dan agama ataukah memang perusahaan selektif dalam merekrut karyawan dan ‘menghindari’ menerima karyawan lokal Bali (Hindu) dengan pertimbangan tertentu atau ada sebab lain. Ini perlu ditelaah lebih lanjut.

Dari beberapa media yang saya baca terkait kasus loker diskriminatif kebanyakan pimpinan perusahaan tak tahu dan merasa kecolongan atas pemuatan iklan lowongan kerja diskriminatif tersebut. Tak adanya koordinasi antara staff personalia dan pimpinan perusahaan membuat iklan lowongan kerja yang biasanya diunggah di media sosial lolos begitu saya tanpa ada filter dan koreksi terlebih dahulu. Ketika sudah ditayangkan dan mendapat reaksi masyarakat baru merasa ada yang salah dan meminta maaf atas kekeliruan yang dilakukan.

Kasus ini menunjukkan kurang pekanya perusahaan di Bali akan agama dan budaya tempat mereka menjalankan bisnisnya. Ini juga membuka mata kita bersama bahwa banyak perusahaan di Bali bukan milik orang Bali, dan Bali bisa jadi hanya menjadi tempat mencari keuntungan.  Sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan posisi penting di perusahaan diisi oleh orang luar

Bali. Meskipun ada orang Bali yang menduduki posisi penting itu jumlahnya tak banyak. Arus migrasi penduduk pendatang yang tak terbendung membuat Bali tak hanya ditinggali oleh penduduk lokal namun juga warga pendatang yang mencari penghidupan di Bali dan membuat persaingan hidup makin ketat, termasuk dalam mencari pekerjaan.

Sudah sewajarnya perusahaan yang menjalankan bisnisnya di Bali peduli dan menghormati budaya serta orang Bali termasuk ketika merekrut karyawan. Bukan ingin menomorsatukan warga lokal, namun hendaknya perekrutan karyawan dilakukan secara adil dan profesional tanpa melihat latar belakang suku maupun agama. Perlu otokritik juga terhadap orang Bali di mana menjadi wacana umum pemilik perusahaan lebih mengutamakan orang luar Bali saat merekrut karyawan karena pekerja warga Bali sering meminta libur terkait adat di mana mereka mesti turut hadir dalam sebuah upacara yang memang menjadi kewajiban orang Bali dalam menjalankan agama dan tradisi. Ini perlu mendapat perhatian berbagai pihak untuk mencari jalan keluar dan solusi atas berbagai perubahan yang terjadi pada Bali di mana budaya agraris tergantikan oleh budaya industri sementara di sisi lain tradisi dan budaya mesti dijaga dan dilestarikan yang menjadi ciri khas dan keunikan Bali serta menjadi daya tarik pariwisata.

Kasus loker diskriminatif menjadi kekhawatiran kita bersama akan keterpinggiran orang Bali di tanah kelahirannya. Banyak yang menyebut Bali bisa menjadi seperti Jakarta di mana migrasi dan perubahan demografi membuat penduduk asli kalah bersaing dengan warga pendatang dan tersingkir oleh perubahan yang mengubah banyak hal tak hanya budaya namun juga ekonomi warga. Kekhawatiran ini bisa menjadi kenyataan jika masyarakat Bali tidak sejak awal sadar akan apa yang terjadi dan diam terhadap berbagai perlakuan tak adil dan diskriminatif. Penguasa di Bali juga perlu meningkatkan kepedulian terhadap Bali dengan menjalankan amanah rakyat dengan sebaik-baiknya, membuat kebijakan yang berpihak dan memajukan Bali dari segala aspek serta memikirkan masa depan Bali yang kini banyak menghadapi persoalan dan tantangan.

Semoga kasus loker diskriminatif tak ada lagi di kemudian hari dan perusahaan yang ada di Bali paham serta lebih peka terhadap budaya dan agama di Bali. Tradisi dan budaya mesti dijaga dan dilestarikan yang menjadi ciri khas dan keunikan Bali serta menjadi daya tarik pariwisata.

Kasus loker diskriminatif menjadi kekhawatiran kita bersama akan keterpinggiran orang Bali di tanah kelahirannya. Banyak yang menyebut Bali bisa menjadi seperti Jakarta di mana migrasi dan perubahan demografi membuat penduduk asli kalah bersaing dengan warga pendatang dan tersingkir oleh perubahan yang mengubah banyak hal tak hanya budaya namun juga ekonomi warga. Kekhawatiran ini bisa menjadi kenyataan jika masyarakat Bali tidak sejak awal sadar akan apa yang terjadi dan diam terhadap berbagai perlakuan tak adil dan diskriminatif. Penguasa di Bali juga perlu meningkatkan kepedulian terhadap Bali dengan menjalankan amanah rakyat dengan sebaik-baiknya, membuat kebijakan yang berpihak dan memajukan Bali dari segala aspek serta memikirkan masa depan Bali yang kini banyak menghadapi persoalan dan tantangan.

Semoga kasus loker diskriminatif tak ada lagi di kemudian hari dan perusahaan yang ada di Bali paham serta lebih peka terhadap budaya dan agama di Bali.

*) Penulis adalah seorang penyair dan wartawan, tinggal di Denpasar