DENPASAR, The East Indonesia – Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) masih mengeluhkan akses permodalan dan bahan baku. Ketatnya persaingan dan kerumitan administrasi membuat UMKM harus bertahan dengan bertumpu pada kaki sendiri. Hal ini mengemuka dalam diskusi Caffetalk Pesta UMKM “Apa Kabar Kita” di Denpasar pada Sabtu (19/11).
Pelaku usaha kuliner Komang Mertana mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi adalah kesulitan mendapatkan bahan baku ikan marlin berkualitas.sehari-hari Komang memang membuka usaha warung dengan sate marlin sebagai menu utama. Menurutnya sulitnya mendapat bahan baku berkualitas karena akses ke penyedia di pelabuhan benoa sangat sulit. “Kalau tidak punya orang dalam di Benoa sulit kita dapat bahan baku yang bagus. Apalagi banyak ikan bagus kita justru dieksport keluar, setelah diolah dijual kembali ke Indonesia,” kata Mertana.
Untuk menyiasati hal itu, Mertana akhirnya menambahkan menu sate babi dalam daftar menu. Selain mengeluhkan bahan baku, usaha kecil sebagaimana yang dilakukan Mertana sangat sulit mendapat akses modal. “Unutk dapat modal juga sangat sulit, ontah ke mana bisa mengeluh,” ucap Mertana.
Keluhan yang sama juga disampaikan pelaku UMKM Yon Gondrong dari Paguyuban Bunga Dewata. Menuruntya saat ini pelau usaha tanaman mendapat gempuran tanaman-tanam omport terutama dari Tahiland. Padahal permintaan tanaman hias dalam dari dalam dan luar negeri sangat tinggi. “Padahal konsumsinya tinggi banget. Tpai berhubung beberapa jenis tidak bisa ‘bikin’ sendiri makanya kebanyakan yang mahal-mahal didatangkan dari Tahiland,” ucap Yon Gondrong.
Kemudian untuk akses permodalan pelaku usaha kecil di bidang tanaman hias jarang diatangi petugas perbankan. Mereka yang mendapat kucuran kredit justru orang-orang yang hanya menggunakan banda usaha tanaman sebagai kedok usaha. “Keluhan kita sama. Investasi kenapa harus yang besar – besar, apakah karena kualitas dan kuantitas. Pelaku seperti kami susah cari kredit modal, tidak pernah ada sosialisasi ke pedagang tanaman. Bisa dibilang tidak ada sentuhan dari pemerintah,” ucap Yon Gondrog.
Pada kesempatan yang sama, juru bicara debtWATCH Indonesia Arimbi Heraputri mengatakan akar masalahnya adalah adlaah saat ini Indonesia diesain sebagai pasar produk-produk internasional. Beras dan gandum misalnya. Gandum tidak tumbuh di Indonesia tapi dipaksa agar diimport. Paling tragis adalah beras dan buah. Padahal Indonesia sebagai penghasil beras malah import beras dari negara lain. “Dalam setiap pri kehidupan kita tergantung pada produk import. Mulai dari dalam kandungan sudah minum susu formula import,” kata Bimbi.
Karena itu menurutnya untuk menghadapi hal ini bisa dimulai dari diri sendiri di lingkungan terdekat. Baik itu dengan menanam sendiri atau mengkonsumsi pangan lokal. Sus formula mahal dr perut sampai mati tergantung produk internasional n jadi pasar. “Solusinya adalah mandiri dan swadaya. Dalam level kampung atau rumah tangga mengurangi yang tidak penting. Misalnya makanan bayi cukup dengan ASI Artinya bisa mulai dari lingkungan terdekat,” ucap Bimbi. ***ch