Pileg 2024 dan Beberapa Hipotesis Tentang Politik

44
Arnoldus Dhae. Foto : Dok - The East Indonesia

Oleh Arnoldus Dhae

Ketika terjun langsung menjadi Caleg Partai Nasdem Nagekeo, saya akhirnya menemukan beberapa fakta lapangan yang berbanding terbalik dengan ideologi politik yang saya yakini selama ini. Berikut ini beberapa point’ penting yang saya rangkum berdasarkan pengalaman lapangan yang saya alami sendiri.

(1) Pileg kali ini memperlihatkan praktik politik uang yang begitu masif. Ibarat penyakit, lebih kronis dari tahun-tahun sebelumnya. Praktik ini secara dramatis menggantikan basis keluarga yang jadi andalan politik elektoral dalam Pileg sebelumnya. Dengan kata lain, modal ekonomi telah menggeser jauh peran modal sosial. Ungkapan “Jika tak ada uang jangan maju politik”, seakan telah berubah status kebenarannya dari sekadar sebuah “pendapat” menjadi “maksim yang tak terbantahkan”.

Baca juga :  Tua-tua Keladi, Dibilang Uzur Tapi Masih Mbandel

(2) Menariknya praktik ini tak lagi rahasia. Ia telah jadi bahan percakapan, gosip banyak orang, dibicarakan di banyak tempat tongkrongan. Meski demikian, para penyelenggara Pemilu tak berhasil mengendus jejak praktik anti demokrasi ini. Paling banter hanya sebatas dugaan yang kemudian menguap tanpa kabar berita atas dalih kurangnya alat bukti.

(3) Juga yang terpenting bahwa praktik ini berlangsung dalam relasi timbal balik antara kedua belah pihak, calon legislatif dan pemilih. Ia telah menjadi semacam habitus (Piere Bourdieu), yaitu “struktur yang distrukturkan” sekaligus “struktur yang menstrukturkan”. Strategi Caleg membuat para pemilih untuk harus mempraktikkan politik uang, pun sebaliknya, tak-tik pemilih mengunci para Caleg hingga mati langkah. Lantas satu-satunya pilihan paling waras adalah menggunakan politik uang jika ingin menang.

Baca juga :  Mulia Rapture 1 September 2018

(4) Di dalamnya kita menjadi makin paham dengan apa arti dari politik transaksional. Relasi antara Caleg dan pemilih benar-benar sebatas transaksi jual-beli dalam logika ekonomi. Relasi yang semestinya berlangsung dalam lima tahun ke depan, telah selesai segera setelah proses jual beli suara itu berakhir.

(5) Akhirnya politik semakin menjadi urusan individu ketimbang yang seharusnya menjadi urusan publik. Warga seakan merasa tak punya hak tuk menagih kerja politik para politisi, sebaliknya para anggota dewan juga pusing mencari cara untuk bagaimana menampilkan diri sebagai pribadi yang baik di mata publik.

Imbasnya, selama menjabat, uang dan waktu anggota DPR, terkuras habis untuk menghadiri acara-acara warga pemilih, yang Katolik misalnya mulai dari permandian hingga kematian.Takaran jadi anggota DPR yang berkualitas bukan lagi terlihat dari seberapa serius ia menghasilkan regulasi yang membawa efek transformatif. Itu tadi, karena praktik politik uang telah menjadikan politik kita menjadi urusan individu.

Baca juga :  Peristiwa-Peristiwa Penting yang Terjadi di Tanggal 3 April

 

Facebook Comments

About Post Author