Oleh: Arnoldus Dhae
Awal April 2024 kemarin, Romo Magnis Suseno berbicara di depan sidang Makamah Konstitusi (MK). Usai sidang, handphone butut saya dipenuhi pesan masuk. Ada banyak pertanyaan, protes, sikap antipati, empati berseliweran di pesan WhatsApp. Bukan saja dari kalangan Gereja Katolik saja. Dari semua unsur dan lapisan masyarakat dan lintas agama.
Intinya, tampilnya Romo Magnis Suseno di MK menimbulkan pro dan kontra. Dan kalau mau jujur, banyak umat Katolik yang justeru lebih banyak protes karena mereka menggunakan rujukan yang sangat sederhana, yakni pemimpin umat katolik, Imam, klerus, tidak boleh terjun di politik praktis, tidak boleh memihak, harus netral, gereja katolik tidak boleh memihak dan seterusnya. Tidak sedikit juga pendapat ini datang dari kalangan Imam Katolik, atau sekurang-kurangnya mereka yang pernah mengenyam pendidikan di seminari. Untuk menetralisir berbagai perbedaan ini maka saya ingin menulis beberapa pokok pikiran dan pengalaman saya di bawah ini.
Secara pribadi saya belum pernah bertemu langsung dengan Romo Magnis Suseno, SJ. Namun sejak hari pertama saya kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero tahun 1997 (kini berubah nama menjadi IFTK), saya mulai mengenal Romo Magnis melalui buku-buku dan jurnal ilmiah yang ditulisnya. Berikut ini saya sebut beberapa judul buku yang sudah saya baca dari awal sampai akhir dan bahkan menjadi referensi wajib di kampus yang mendunia itu.
Buku-bukunya seperti ETIKA DASAR: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral(1987), ETIKA JAWA: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (1981). ETIKA POLITIK: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moderen (1988) dan FILSAFAT ILMU KRITIS (1992). Masih banyak buku lain dan jurnal ilmiah yang tak terhitung yang ditulis oleh Romo Magnis. Saya hanya menyebut buku yang pernah saya baca saja. Di antaranya adalah judul: ETIKA JAWA:Sebuah Analisis Falsafati Tentang Kebijakan Hidup Jawa (1981). Kalau kita mau berpikir kritis, bagaimana mungkin orang Jerman bisa tulis soal etik Jawa, jika dia sendiri tidak hidup dan tenggelam dalam budaya Jawa. Masih ragu kah kita bahwa Romo Magnis adalah guru etika Indonesia?
Sekalipun saya tidak pernah bertemu langsung Romo Magnis Suseno namun setiap kali membaca bukunya saya selalu membaca riwayat singkat penulisnya. Membaca kata pengantar bukunya. Saya akhirnya paham bahwa Romo Magnis pantas disebut guru etik Indonesia. Aktivitas intelektual pria asal Jerman yang sudah menjadi WNI ini pantas disebut obor penerang etika Indonesia. Sebab setiap buku etikanya, Romo Magnis selalu mengajarkan substansi etika itu sendiri yakni sebagai ajaran yang baik dan tidak baik, yang harus diikuti dan dijauhi. Yang baik harus diikuti dan yang tidak baik harus dihindari atau dijauhi. Sangat sederhana. Sebab etika itu berhubungan langsung dengan kualitas manusia sebagai manusia. Etika itu membedakan manusia dengan binatang. Binatang itu mengikuti naluriah alamiah. Tetapi manusia hanya akan mengikuti naluriah alamiah sejauh itu baik dan manusia akan melawan naluriah alamiah bila itu tidak baik.
Fakta lain yang harus kita ketahui adalah Romo Magnis ini kelahiran Jerman. Orang Jerman itu kuat dalam prinsip dan teguh dalam pendirian. Romo Magnis lahir tahun 1936 dari keluarga bangsawan di Eckersdorf, Niederschlesien. Ia menjalani masa kecil, mengenyam pendidikan dasar dan menengah di sana. Kota kecil seluas 36,19 km dan berpenduduk 5,159 jiwa ini terletak di wilayah Nurnberg, Bayern Jerman. Kota itu dilambangkan dengan Singa Emas Yang Menerkam. Ini adalah simbol yang memberikan spirit bagi warga kotanya untuk teguh dalam prinsip, kuat dalam pendirian. Singa melambangkan keberanian, kekuasaan, kekuatan dan kepemimpinan. Terbersit harapan agar generasi baru dari Kota Eckersdorf tampil berani, kritis, menjadi pemimpin yang kuat dan siap menghadapi tantangan.
Tahun 1952-1955 ia melanjutkan SMA di kolose Jesuit Sankt Blasien, kota kecil di Jerman Selatan. Serikat Jesuit (SJ) telah membentuk pribadi Romo Magnis begitu kuat dan mendarah daging. Dalam SJ, ada prinsip yang sangat terkenal yakni ‘Cura Personalia”. Ini adalah ungkapan Latin yang artinya memperlakukan setiap orang yang kita temui, termasuk diri kita sendiri, sebagai orang yang layak mendapatkan perhatian, kepedulian, dan rasa hormat atas keunikan pikiran, tubuh dan jiwa mereka. Sebagaimana lembaga pendidikan seminari umumnya, SJ juga tidak hanya menekankan aspek intelektual. Tapi juga kesehatan mental, fisik, spiritual dan perkembangan mereka sebagai warga dunia.
“Cura Personalis” melatih peserta didik untuk “benar-benar melihat orang lain dan membiarkan diri kita dilihat dilihat oleh orang lain”. Inilah SJ, yang memiliki karakter tersendiri terhadap hal ini. Dan Romo Frans Magnis Suseno adalah imam SJ yang sangat kuat dalam prinsip dan teguh dalam pendirian. Dia siswa yang cerdas. Tahun 1955 Franz menyelesaikan ujian akhir SMA di kolese Sankt Blasien. Sesudahnya ia masuk ordo Jesuit. Romo Magnis masuk Jesuit tahun 1955, kuliah teologi dan filsafat di Pullach, München (keduanya di Jerman) dan Kentungan Yogyakarta. Tahun 1961 Frans ke Indonesia, studi lanjut teologi dan filsafat, belajar bahasa, budaya, etika Jawa dan bahasa Indonesia hingga tahbisan imam oleh Mgr. Justinus Darmojuwono tanggal 31 Juli 1967.
Sudah enam dasawarsa Romo Magnis tinggal di Indonesia. Tidak ada satu pun yang meragukan ke-Indonesia-an Romo Magnis. Selama itu pula beliau menjadi tokoh, saksi dan pelaku sejarah perkembangan peradaban sosial, politik dan kebudayaan Indonesia. Dia mengajar di UI, STF Drijarkara, Universitas Parahyangan Bandung dan berbicara di forum-forum intelektual dalam dan luar negeri. Beliau menulis dan merefleksikan dinamika peradaban Indonesia melalui opini, jurnal, buku-buku berbahasa Indonesia dan asing. Romo Magnis mengikuti dinamika politik sejak rezim orde lama, orde baru, orde reformasi dan “orde reformasi mental”. Dia mengalami kepemimpinan semua presiden Indonesia: Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, Jokowi dan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Sebagai seorang filsuf, Romo Magnis memahami karakter dan ide-ide revolusioner mereka. Soekarno pernah menggagas gerakan revolusi mental tahun 1957. Tahun 2014 Jokowi kembali menggaungkannya. Mereka mendorong perbaikan mentalitas. Revolusi mental bergandengan dengan etika yang berfokus pada norma, perilaku dan adat istiadat manusia. Setiap presiden ingin menciptakan revolusi. “Revolusi adalah lokomotif sejarah”, kata Karl Marx. Atas jasa-jasanya di bidang intelektual dan etika, Romo Magnis mendapatkan banyak penghargaan. Penghargaan dalam negeri sudah banyak. Beberapa juga berasal dari dunia internasional.
Pertama, doktor Honoris Causa bidang teologi dari Universitas Katolik Luzern Swiss tahun 2002. Ini adalah penghargaan tentang upaya Romo Magnis dimana melalui karya-karya inovatifnya tentang etika Jawa, budaya dan politik Indonesia, serta dialog Kristen-Muslim, ia telah menarik perhatian dunia barat tentang model kehidupan umat muslim terbesar di Asia Tenggara dan bahkan dunia tersebut. Sebagai peneliti dan dosen filsafat, intelektual dan imam Jesuit, ia berulang kali secara terbuka memperjuangkan keadilan sosial dan internasional, penghormatan kelompok minoritas, saling memahami antar agama dan budaya. Karya ilmiah serta komitmen akademisnya memperhatikan situasi sosial dan gerejani membuktikan bahwa dia adalah seorang pembangun jembatan antara agama dan budaya, sekaligus seorang misionaris martabat manusia”.
Kedua, penghargaan Matteo Ricci dari departemen ilmu politik Universitas Katolik Milan Italia tanggal 21 November 2016. Penghargaan Matteo Ricci diberikan orang-orang yang berkomitmen menjembatani kesenjangan budaya dan intelektual demi kepentingan manusia. Penghargaan-penghargaan ini membuktikan bahwa karya-karya Romo Magnis sangat berpengaruh. Tak hanya dalam negeri tapi juga pada level internasional.
Bagaimana dengan kesaksian Romo Magnis Suseno di MK. Untuk menjelaska hal ini, kita perlu membandingkan kesaksian Kyai Ma’aruf Amin (sekarang Wakil Presiden) dalam kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada tahun 2017 lalu. Saat itu Kyai Ma’aruf Amin tampil sebagai saksi ahli. Bukan sebagai pemimpin agama. Dia didengarkan keteranganya selaku ahli. Orang Katolik tidak boleh baper dengan hal ini. Saat dia tampil di MK, Romo Magnis itu ahli etika, ahli filsafat etika, bukan sebagai Imam Katolik atau pemimpin agama Katolik. Ini dua hal yang berbeda. Lalu kenapa dia harus memihak ke salah satu Paslon.
Saya harus tegaskan, seorang pakar, seorang ilmuwan, seorang ahli, sangat diperlukan di hadapan majelis hakim untuk menerangkan secara terang benderang tentang fakta hukum dalam perspektif kepakarannya, keahliannya. Prinsipnya adalah clara et distincta atau membuat terang dan jelas fakta hukum yang sedang disidangkan. Terlepas jika kesaksiannya sebagai ahli diterima atau tidak oleh majelis hakim itu bukan halangan seorang ilmuwan untuk menerangkan secara terang benderang. Orang Katolik di Indonesia harusnya berdoa bagi Romo Magnis.
Tokoh yang sudah sepuh namun masih berani dan dengan gagah perkasa berteriak di depan sidang MK bahwa ada yang salah secara etika dalam Pemilu. Yang salah tetap lah salah, yang benar tetaplah benar. Bukan kah gereja katolik harus berani bersaksi di tengah ketidakadilan sosial, sekalipun dengan risiko yang besar. Itulah Romo Magnis Suseno, guru etika Indonesia. Romo Magnis memahami etika Jawa, etika kristiani, etika sosial, etika hukum dan etika hidup bernegara. Dia tampil sederhana, maju dengan tenang. Dia bersaksi ketika umat kristiani baru saja merayakan paskah.
Kesaksian Romo Magnis menghadirkan pro dan kontra. Ada simpati, pujian dan apresiasi. Termasuk dari umat beragama lain dan orang-orang yang tidak mengenalnya. Tak sedikit yang antipati. Termasuk orang-orang katolik dan para mahasiswanya dulu.
Apakah Romo Magnis malu, kehilangan muka dan merasa konyol? Tidak! Itu pekerjaan kenabiannya. Dia terbiasa mendapatkan perlakuan itu. Apakah martabat luhur imamatnya jatuh? Juga tidak! Bagi Romo Magnis hinaan terhadap dirinya adalah sebuah apresiasi. Ketika dinista martabat imamatnya justru semakin sejati dan mulia. Lihat saja salib kecil di kerah bajunya menyala. “Singa Emas dari Eckersdorf” itu tidak pernah takut!
Romo Magnis mengajarkan “Cura Personalis” ala kolose Sankt Blasien.
“Kita harus benar-benar melihat orang lain dan juga membiarkan diri kita dilihat oleh orang lain”. Melalui catatan-catatannya tentang etika, Romo Magnis benar-benar melihat dan membantu para pemimpin bangsa dan rakyat Indonesia. Melalui tugas kenabiannya, Romo Magnis mengingatkan bahwa ada yang tidak beres dalam proses politik dan kehidupan demokrasi. Dia senang diapresiasi. Tapi lebih berbahagia ketika dicaci maki demi sebuah nilai luhur untuk memperbaiki peradaban.
Umat katolik tak perlu merasa terganggu dan malu ketika Romo Magnis tampil di Mahkamah Konstitusi. Dia sedang menghadirkan diri sebagai manusia paskah sesuai ajaran gereja katolik. Dia memberi warna tersendiri dan khas sebagai imam katolik sekaligus guru bangsa. Setiap kita yang tergabung dalam gereja mengambil bagian dalam tugas kenabian Kristus. Kita bersaksi berdasarkan iman akan kebangkitan Kristus. Tugas ini tercermin dalam kesatuan kita dengan para pemimpin gereja untuk melaksanakan ajaran iman dan moral sesuai ajaran magisterium gereja. Dengan itu kita memberikan kesaksian iman Kristiani kepada dunia.
Romo Magnis telah memberikan kesaksian itu. Kesaksiannya di depan Mahkamah Konstitusi adalah sebuah kotbah paskah. Terima kasih Mahkamah Konstitusi yang telah menyiapkan mimbar kotbah itu. Saya semakin bangga, mengagumi, mencintai dan ingin memiliki daya tahan seperti Romo Magnis. Romo Magnis telah membantu dan mengingatkan rezim untuk menggerakan revolusi mental. Revolusi mental adalah lokomotif sejarah sebuah peradaban.
*Penulis adalah alumni IFT Ledalero Maumere Flores – NTT, sekarang bekerja sebagai Jurnalis di Denpasar