Yang Mulia Mgr. DR. Paul Budi Kleden, Guru Teologi Terlibat yang Terpilih Menjadi Uskup

630
Arnoldus Dhae. Foto : Dok - The East Indonesia

Oleh Arnold Dhae

Handphone saya memiliki 6 grup bernuansa katolik. Dari paroki, alumni kampus, grup angkatan di kampus, paroki asal, Pemuda Mauponggo, paroki domisil, guru agama Katolik dan beberapa grup yang anggotanya profesi jurnalis. Semua grup mengumumkan terpilihnya Pater DR Paul Budi Kleden, SVD sebagai Uskup untuk Keuskupan Agung Ende, Flores, NTT. Saya menyimak tiap grup WhatsApp dengan senyum bangga. Mereka berkomentar dengan cara mereka masing-masing. Hampir di seluruh grup itu, saya adalah orang yang mungkin memberikan reaksi paling terakhir.

Saya adalah salah satu dari ribuan mahasiswa alumni STFK Ledalero yang sekarang berubah nama menjadi IFTK Ledalero. Berikut ini saya menulis kesan pribadi selama saya menjadi mahasiswa DR Paul Budi Kleden. Dia adalah dosen yang sangat rendah. Di kelas, mimik mengajarnya sungguh terkesan. Saya adalah mahasiswa yang dijuluki tukang mengantuk di kelas, tapi maaf ya, tidak pernah Remidi alias Her, istilah kami waktu itu. Selalu lulus murni untuk semua mata kuliah. Sarjana Filsafat saya dengan IPK 3,45. Bukan mahasiswa cerdas tetapi lebih ke mahasiswa yang penuh dengan legenda karena sering kontroversi di kampus. Nama saya masih menjadi bahan candaan dan bulian sampai sekarang.

Namun menariknya, kalau mata kuliah yang diampu Pater Budi (begitu nama yang biasa dipanggil di kampus), tidak ada rasa kantuk. Energi selalu berlipat ganda. Pikiran terangsang kuat dan lentur. Naluri intelektual kuat dan teguh. Itulah sosok Pater Budi. Selalu ada yang baru. Kalau berbicara tangannya berputar-putar, matanya tertutup, bibirnya terbuka lebar, suaranya keras dan lantang. Secara retorika, Pater Budi tidak bisa dilawan di Ledalero. Banyak mahasiswa terkesan. Karena itu kuliah Pater Budi ditempatkan di siang bolong.

Pribadinya sangat low profile. Pater Budi itu SVD sejati. Seringkali masuk kelas hanya dengan kaos berkerah. Pater Budi juga tidak bisa mengendarai sepeda motor, entah beliau tidak tau atau memang tidak suka. Dia bisa bertemu mahasiswa kapan saja, dimana saja. Di halaman kampus, di taman, di lorong biara, di kamar makan. Semua diladeninya. Dia suka mahasiswa kritis, termasuk membantah materi kuliahnya. Dalam menjawab soal ujian, dia suka mahasiswa yang eksploratif, menginternalisasi materi dengan nilai nilai kehidupan nyata. Ilmunya tinggi, wawasan luas. Kata-katanya kuat, hidup, merasuk masuk, membekas di sanubari.

Selama di kampus, saya beberapa kali bertemu Pater Budi. Satu hal yang tetap saya ingat sampai sekarang. Dia mengucapkan kalimat yang sulit dilupakan. Kalimat itu diucapkan ketika kami bercerita peristiwa beberapa tahun sebelumnya, saat saya kembali dari kegagalan praktek Pastoral di sebuah lembaga pendidikan di wilayah Kabupaten Ngada, Flores NTT. Ada persoalan yang sangat pelik, dan tidak bisa dijelaskan di tulisan ini. Persoalan yang membuat saya harus pindah praktek Pastoral ke Paroki St Ignasius Loyola Sika. Kalimat itu adalah; “ada dua klasifikasi dialog. Ada dialog relatif konsultatif, dan dialog konfrontatif”. Lalu saya nanya, ‘kan ada dialog interaktif’. Beliau jawab itu bagian dari relatif konsultatif. Kemudian Pater Budi menyambung, ‘”dalam persoalan tersebut kamu menggunakan dialog konfrontatif. Dan itu tidak elok untuk sebuah lembaga pendidikan. Secara prinsip kamu benar. Tetapi kamu lemah dalam memperjuangkan prinsipmu,”. Saya hanya menganggukkan kepala saat itu. Saya merasa idealisme saya terbongkar habis berkeping-keping.

Bagaimana dengan Teologi Terlibat. Mata kuliah ini sangat terkenal. Banyak mahasiswa mengimplementasikan dalam bentuk skripsi dengan berbagai sudut pandang, titik tolak, hingga praktek Pastoral di lapangan. Mata kuliah ini seakan menjadi ikon mahasiswa di Ledalero kala itu. Di STFK Ledalero, salah satu hal yang dianggap sebagai warisan penting Pastor Paul adalah apa yang disebut dengan teologi terlibat, gagasan yang dituangkannya dalam buku berjudul sama pada 2003.

Dalam salah satu tulisannya, dosen yang mengajarkan kerendahan hati dalam setiap perilaku ini, memadatkan konsep itu dengan penjelasan yang sangat mendarat di bumi. Ia mengatakan, menjadi seorang teolog berarti menjadi bagian dari upaya untuk melawan kondisi yang tidak manusiawi dan membangun masyarakat yang adil dan damai. Frame pemikiran brilian ini sudah dibuktikan dalam kehidupan nyata oleh pribadi sederhana tersebut. Pater Budi meminta agar seluruh mahasiswanya tidak berteologi di atas menara gading kampus, dalam ruang kelas ber-AC, tetapi terlibat dalam advokasi untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat pinggiran, yang miskin, terlantar, dan sebagainya. Saya lihat sendiri ketika saya masih menjadi mahasiswa, Pater Budi ikut aksi unjukrasa di Kota Maumere, rela berpanas-panasan, mengatur barisan peserta dengan tali rafia. Pater Budi juga terlibat aktif dalam kasus advokasi seorang pembantu yang dihamili seorang bupati di Flores, juga membela para petani di Colol, Kabupaten Manggarai yang ditembak mati pada 2004 karena menentang kebijakan pejabat lokal. Dosen yang dekat dengan mahasiswanya tidak hanya di ruang kelas ini, senantiasa membangun dan mengkreasi teologinya dalam dialektika dengan ilmu-ilmu sekular dan persoalan-persoalan sosial, baik politik, pendidikan, kebijakan publik, hak hak asasi manusia, gender, hingga korupsi. Ada co-existensi terpisah antara ilmu teologi di ruang kuliah dengan praksis kehidupan nyata umat manusia. Selain Teologi Terlibat, Pater Budi juga mengajar sejumlah mata kuliah di program sarjana, termasuk eklesiologi, teodicea dan postmodernisme, juga teologi politik di program magister.

Saat ini Pater Budi terpilih menjadi Uskup untuk Keuskupan Agung Ende Flores NTT. Padahal saat ini dosen ramah asal Waebalun itu masih menjabat sebagai superior jenderal atau pemimpin umum Serikat Sabda Allah/Societas Verbi Divini (SVD) di seluruh dunia. Ia memimpin kongregasi itu selama 6 tahun hingga Juli 2024. Dosen yang mampu menghafal nama ratusan bahkan ribua mahasiswanya ini menjadi superior jenderal ke-12 dalam sejarah SVD, kongregasi yang didirikan oleh Santo Arnoldus Janssen, imam diosesan asal Jerman tahun 1875. Ia menggantikan pendahulunya, imam asal Jerman, Heinz Kulueke. Ia juga tercatat sebagai orang kedua dari Asia yang menduduki jabatan itu, di mana yang pertama berasal dari Filipina.

Pater Budi terpilih menjadi Uskup untuk Keuskupan Agung Ende Flores NTT. Ia
lahir pada 16 November 1965 di Waibalun-Larantuka, Flores Timur, yang dikenal sebagai gerbang masuknya Agama Katolik di Flores. Ia merupakan anak kelima dari almarhum Bapak Petrus Sina Kleden dan Ibu Dorotea Sea Halan. Pater Budi memiliki dua saudara laki-laki dan empat saudara perempuan. Pendidikan formalnya dimulai dari SDK Waibalun, lalu ke Seminari Menengah San Dominggo, Hokeng, di dekat kota Larantuka. Ia bergabung dengan SVD tahun 1985, lalu menyelesaikan studi filsafat di Sekolah Tinggi Fisafat Katolik (STFK) Ledalero.

Studi teologi kemudian ditempuhnya di Austria dan kemudian ditahbiskan menjadi imam di negara tersebut pada 15 Mei 1993. Selama tiga tahun pasca tahbis, ia bekerja di Swiss sebagai pastor kapelan di dua paroki, di Steinhausen dan kemudian di Auw. Pada 1996-2000, ia menjalani studi doktoral bidang teologi sistematik di Albert Ludwig’s University, Freiburg, Jerman. Pulang studi, ia mengabdi di alma maternya STFK Ledalero dan mengampu beberapa mata kuliah.

Ia menduduki posisi anggota dewan provinsi SVD Ende pada 2005-2008 dan wakil provinsial selama satu tahun pada periode ini. Pada 2011, ia diangkat menjadi direktur program pasca sarjana di Ledalero. Namun, posisi itu kemudian ia tinggalkan setelah setahun kemudian, ia pindah ke Roma, karena dipilih menjadi anggota dewan jenderal SVD.

Mulai detik ini, saya akan menyebut dosen yang rendah hati ini dengan panggilan Yang Mulia, Mgr.DR. Paul Budi Kleden, SVD. Tuhan selalu menyertaiMu Yang Mulia.

Denpasar, 25 Mei 2024

Arnoldus Dhae, Alumni IFTK Ledalero