Sidang Mendengarkan Jawaban Pilkada Belu 2024, Hakim MK Nyatakan Paslon WL-VH Tidak Jujur, Tak Mengumumkan Ke Publik dan Tidak Kooperatif

2258
Para Hakim dalam sidang Perkara Pilkada Belu 2024. Foto : Dok - Rony

JAKARTA, The East Indonesia – Perkara Pilkada Belu tahun 2024 dengan Nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025 telah memasuki tahap Sidang Mendengarkan Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait, dan Keterangan Bawaslu, serta Pengesahan Alat Bukti.

Sidang yang dilaksanakan Panel 3 yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih ini telah berlangsung pada Kamis pagi, 23 Januari 2025.

Dilansir Humas MKRI (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia), Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Christafora Fernandez memberikan keterangan terkait dalil permohonan yang menyebut calon wakil bupati nomor urut 1 pemilihan bupati (Pilbup) Kabupaten Belu Vicente Hornai Gonsalves tidak memenuhi syarat untuk maju dalam kontestasi.

Pemohon sendiri dalam permohonan mendalilkan Vicente Hornai Gonsalves tidak memenuhi syarat karena merupakan mantan terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Anggota Komisioner Bawaslu Kabupaten Belu, Christafora dihadapan Hakim MK menyampaikan, pihaknya menerima laporan terkait dugaan pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilihan yang dilakukan Vicente Hornai Gonsalves.

Laporan tersebut pada pokoknya menyebut Vicente Hornai Gonsalves memberikan keterangan palsu bahwa dirinya tidak pernah dipidana.

Setelah melakukan kajian dan telaah hukum, laporan pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilihan yang dilakukan Vicente Hornai Gonsalves diduga melanggar Pasal 184 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

Selanjutnya, laporan tersebut ditindaklanjuti hingga ke proses penyidikan Polres Belu.

Namun sampai dengan batas akhir penyidikan, Vicente Hornai Gonsalves tidak kooperatif setelah dilakukan pemanggilan selama tiga kali.

“Dan setelah diadakan pencarian oleh penyidik, terlapor (Vicente Hornai Gonsalves) juga tidak ditemukan,” ujar Christafora di Ruang Sidang Pleno, Gedung I MK, Jakarta, Kamis (23/1/2025).

Bawaslu Kabupaten Belu bersama Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) akhirnya tidak dapat menetapkan calon Wakil Bupati nomor urut 1 itu sebagai tersangka, karena Vicente Hornai Gonsalves tidak mau dimintai keterangan.

Namun dalam penanganan oleh pihaknya, mereka menyimpulkan Vicente Hornai Gonsalves diduga melakukan pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme dalam tahapan pendaftaran pasangan calon.

“Sehingga Bawaslu Kabupaten Belu mengeluarkan rekomendasi pelanggaran administrasi pemilihan kepada KPU Kabupaten Belu untuk ditindaklanjuti sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Christafora.

“KPU Kabupaten Belu menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu Kabupaten Belu dengan menyatakan bahwa pelanggaran administrasi hasil kajian Bawaslu Kabupaten Belu terbukti sebagai pelanggaran administrasi pemilihan yang dilakukan oleh calon wakil bupati atas nama Vicente Hornai Gonsalves. Sehingga tidak tepat rekomendasi ditujukan kepada KPU Kabupaten Belu, karena prosedur formal dalam tahapan pencalonan dilaksanakan sesuai tata cara, prosedur, dan mekanisme,” sambungnya.

Sementara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Belu sebagai Termohon menyampaikan, pasangan calon nomor urut 1 Willybrodus Lay-Vicente Hornai Gonsalves telah memenuhi syarat dalam kepesertaannya di Pilbup Kabupaten Belu.

Kuasa hukum Termohon, Thomas Mauritius Djawa menyampaikan bahwa KPU Kabupaten Belu tak melewatkan satupun proses selama proses pendaftaran, verifikasi dokumen, hingga penetapan pasangan calon dalam Pilbup Kabupaten Belu.

KPU Kabupaten Belu sebelum pendaftaran pasangan calon juga telah melakukan sosialisasi kepada para bakal pasangan calon yang ingin maju dalam kontestasi. Termasuk mengundang Polres Belu untuk mensosialisasikan Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

Termohon juga mengundang Kejaksaan Negeri Belu yang menyampaikan tema Status Terpidana dan Mantan Terpidana.

“Dan dalam proses ini Bawaslu melakukan pengawasan dan tidak ada saran perbaikan atau rekomendasi selama proses pencalonan. Pada akhirnya terakhir yang perlu kami sampaikan, termasuk syarat-syarat calon wakil bupati yang kemudian di keberatan oleh Pemohon, yaitu syarat terkait dengan surat keterangan dari kepolisian kemudian surat dari pengadilan, semua terpenuhi,” ujar Thomas.

Selama proses penelitian dokumen dan verifikasi administrasi, KPU Kabupaten Belu tidak menemukan pasangan calon yang tidak memenuhi syarat. Khususnya terkait dalil keikutsertaan Vicente Hornai Gonsalves sebagai calon wakil bupati, permohonan Pemohon tidaklah beralasan menurut hukum.

Thomas juga menyampaikan, Bawaslu Kabupaten Belu mengeluarkan rekomendasi terkait dugaan pelanggaran administrasi yang dilakukan Vicente Hornai Gonsalves.

Terdapat dua poin utama dalam rekomendasi tersebut, yakni telah terbukti adanya pelanggaran administrasi oleh calon wakil bupati nomor urut 1 dan meminta KPU Kabupaten Belu untuk menindaklanjuti sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“KPU kemudian melakukan telaah dan kajian hukum terkait dengan rekomendasi yang disampaikan oleh Bawaslu. Pada akhirnya kami tetap pada keputusan yang telah ditetapkan oleh Termohon,” Thomas.

Kemudian, Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025 adalah pasangan calon nomor urut 1 atas nama Willybrodus Lay-Vicente Hornai Gonsalves.

Ridwan Syaidi Tarigan sebagai kuasa hukum Pihak Terkait menyampaikan, dalil permohonan Pemohon ihwal Vicente Hornai Gonsalves yang disebut sebagai mantan terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak sesuai dengan fakta dan keadaan hukum yang sebenarnya.

“Bahkan cenderung fitnah untuk mencemarkan nama baik Pihak Terkait. Serta dalam menghilangkan hak konstitusional Pihak Terkait maupun hak konstitusional dari sebagian besar masyarakat Kabupaten Belu yang telah mempercayakan suaranya dengan memilih dan memenangkan Pihak Terkait,” ujar Ridwan.

Ridwan membantah Vicente Hornai Gonsalves tidak memenuhi syarat dalam pencalonan sebagai calon wakil bupati seperti yang didalilkan Pemohon. Apalagi tidak ada keberatan dari pihak manapun, termasuk Pemohon dalam tahap verifikasi administrasi dan faktual.

Ia juga membantah Vicente Hornai Gonsalves berbohong terkait statusnya sebagai mantan terpidana. Sebab dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang diterbitkan Polres Belu, calon wakil bupati nomor urut 1 itu menerangkan dengan tulisan tangan bahwa dirinya “pernah dihukum pada tahun 2004 dan sudah diputus di PN Atambua”.

Selain itu, Ridwan menambahkan Vicente Hornai Gonsalves dipidana karena kasus kekerasan seksual terhadap anak. Faktanya pada 20 tahun lalu, Vicente Hornai Gonsalves yang masih muda tidak mengerti hukum pidana di Indonesia dan melarikan gadis untuk dinikahi, yang menurut adat tempatnya berasal itu dibolehkan.

“Oleh karena calon wakil bupati nomor urut 1, Vicente Hornai Gonsalves berasal dari Timor Timur yang yang ketika terjadi referendum Timor Timur merdeka tahun 1999, dirinya bersama keluarga besarnya beserta belasan ribu warga Timor Timur lainnya, yang pro dan cinta Indonesia memilih untuk bergabung ke Indonesia dan secara besar-besaran mengungsi ke Kabupaten Belu,” ujar Ridwan.

“Maka hal tersebut membuktikan bahwa permohonan Pemohon senyatanya manipulatif, penuh rekayasa, bahkan terkesan fitnah untuk mencemarkan nama baik calon wakil bupati nomor urut 1, Vicente Hornai Gonsalves,” sambungnya menegaskan.

Di samping itu, ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada yang mengatur calon tidak pernah menjadi terpidana kecuali telah secara terbuka mengemukakan statusnya kepada publik, kata Ridwan, secara hukum tidak mengikat dan tak relevan untuk diterapkan ke Pihak Terkait.

“Khususnya kepada calon wakil bupati nomor urut 1, Vicente Hornai Gonsalves, yakni dengan mendasarkan pada asas hukum tidak berlaku surut, asas non retroaktif, di mana asas non retroaktif tersebut pada pokoknya menyatakan suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut, yang berarti bahwa undang-undang hanya dapat diterapkan pada peristiwa yang terjadi setelah undang-undang tersebut disahkan,” ujar Ridwan.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam tanggapan terhadap jawaban pihak termohon KPUD Belu menyatakan secara tegas apabila mengikuti pasal 7 huruf g berkaitan dengan keseluruhan unsur yang ada disitu terkait dengan mantan terpidana itu harus mengemukakan secara jujur bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana kepada publik.

“Apakah mekanisme ini sama sekali tidak dilakukan untuk memenuhi syarat itu. Karena tadi saya tangkap dari yang disampaikan termohon tadi itu dia hanya membuat catatan saja. Apakah kepada publiknya kalau dalam ketentuan undang-undang itu kan jelas menyatakan bahwa mengemukakan kepada publik, dengan cara apa, apakah itu sama sekali tidak dilakukan? Tolong dijelaskan,” pinta Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Kuasa hukum Termohon, Thomas Mauritius Djawa pun menjelaskan bahwa Paslon nomor urut 1 ini pada form BB Pernyataan tidak mencetang pada kolom mantan terpidana sehingga dianggap semuanya terpenuhi dan sama sekali tidak dilakukan penyampaian ke publik.

Menjawab juga pertanyaan itu, Ketua KPU RI, Mochamad Afifuddin, menjelaskan dihadapan pada Hakim MK bahwa karena dalam proses pendaftaran sebagaimana formulir pernyataan, yang bersangkutan tidak mencontreng sebagai mantan terpidana maka tidak ada tindak lanjut misalnya dia harus memberikan, menyampaikan ke publik ke media bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana termasuk dokumen-dokumen lainnya.

“Jadi sumber awalnya memang pernyataan mantan terpidananya tidak di contreng,” pungkasnya.

Ditanggapi Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih : “Itukan kalau dibaca pasal 7 huruf g itu jelas sekali mengemukakan secara jujur. Jujur mengemukakan. Kalau begitu apakah itu termasuk jujur atau tidak Pak?”

Ketua KPU RI : “Itu kan ditemukan setelah proses penetapan. Sudah selesai semua baru ada informasi soal ini. Jadi saat proses pencalonan tidak ada termasuk dalam proses ini kan ada pengawasan dan seterusnya. Itu tidak ada informasi yang diterima teman-teman, itu menurut teman-teman.”

Sementara untuk pihak terkait, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengemukakan bahwa dalam bukti yang disampaikan pihak terkait mengatakan peristiwa pidana ini terjadi sudah 20 tahun yang lalu dengan usia Vicente 28 tahun.

“Katanya ada istilahnya biasa adatnya sana. Apa emang begitu adatnya sana itu melarikan perempuan itu di Belu atau Atambua itu hal yang biasa?,” tanyanya.

Ridwan Syaidi Tarigan sebagai kuasa hukum Pihak Terkait, Paslon WL-VH menjawab, “Terima kasih yang mulia berdasarkan informasi yang kami dapat bahwasanya di sana itu agak sedikit sulit untuk melamar seorang gadis karena biaya mahar yang terlalu mahal sehingga sering terjadi seperti itu yang mulia.”

Hakim Enny: “Pada waktu itu apakah memang konteksnya sedang ingin menikahi gadis itu atau gimana?.”

Ridwan: “iya konteksnya adalah sudah ingin menikahi pada saat itu. (Tidak dinikahi) Karena tidak direstui. Karena yang terkait itu (Vicente Hornai Gonsalves) mengetahui bahwasan itu salah berdasarkan perundang-undangan sehingga dia menerima putusan tersebut dan itu juga menjalankan hukuman adat yang mulia.”

Hakim Enny: “berikut kenapa dia tidak kooperatif. Beberapa kali ketika dipanggil lewat beberapa pembahasan di Bawaslu. Apa yang melatarbelakangi tidak kooperatif, tidak datang ke situ.”

Kuasa Hukum WL-VH : “Izin yang mulia, untuk tahapan ini kami koordinasi dengan calon bupati. Jadi kita memang tidak koordinasi dengan calon Wakil Bupati yang Mulia. Langsung ke calon Bupati.”

Hakim Enny: “calon bupati tahu persis bahwa ada peristiwa itu?”

Kuasa Hukum WL-VH: “(calon) Bupati tahu ada peristiwa itu yang Mulia.”

Hakim Enny: “Juga tidak kemudian kooperatif untuk kemudian meminta kepada (calon) wakil hadir dalam proses pembahasan.”

Kuasa Hukum WL-VH : Sudah dilakukan oleh (calon) Bupati Yang Mulia”

Hakim Enny: “(calon) Bupati sudah meminta untuk hadir?”

Kuasa Hukum WL-VH : “Sudah Yang Mulia ”

Hakim Enny: “Tapi tidak hadir juga?”

Kuasa Hukum WL-VH : “Saya tidak paham untuk itu Yang Mulia.”

Untuk diketahui, Pemohon adalah pasangan calon nomor urut 2, Taolin Agustinus-Yulianus Tai Bere yang mana Vicente Hornai Gonsalves seharusnya tidak bisa berpasangan dengan Willybrodus Lay sebagai peserta Pilbup Kabupaten Belu. Vicente Hornai Gonsalves pernah melakukan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) terhadap anak, sebagaimana tercantum dalam Putusan Pengadilan Negeri Atambua Nomor: 186/PID/B/2003/PN.ATB tanggal 17 Januari 2004.

Namun, Vicente Hornai Gonsalves tidak jujur dalam pemenuhan persyaratan administrasi calon pasangan bupati dan wakil bupati Kabupaten Belu. Padahal, pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak menjadi salah satu mantan terpidana yang tidak diperbolehkan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah.(Ronny)