ATAMBUA, The East Indonesia – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara resmi telah menginstruksikan jajaran di bawahnya menggelar Operasi Kepolisian Kewilayahan serentak untuk memberantas praktik premanisme yang semakin marak dan meresahkan masyarakat.
Langkah ini tertuang dalam Surat Telegram Nomor: STR/1081/IV/OPS.1.3./2025, yang ditujukan kepada seluruh jajaran Polda dan Polres di Indonesia.
Namun hal ini secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap instruksi oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia tersebut.
Sejumlah sopir mobil rental lokal asal Desa Silawan diduga melakukan aksi premanisme dengan memaksa para pelintas batas dari Timor Leste untuk berjalan kaki sejauh 500 meter, jika tidak menggunakan jasa transportasi mereka.
Dilansir MediaKupang.com, Insiden memprihatinkan kembali mencoreng wajah pelayanan lintas negara di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Dua biarawati asal Timor Leste, termasuk salah satunya yang merupakan tamu resmi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Dili, dipaksa turun dari kendaraan dan diminta berjalan kaki sejauh kurang lebih 500 meter di bawah terik matahari oleh sekelompok sopir rental lokal asal Desa Silawan.
Peristiwa yang terjadi pada Sabtu 24 Mei 2025 itu sontak menuai kecaman dari berbagai pihak.
Para pelintas batas yang seharusnya mendapat pelayanan ramah dan aman justru menjadi korban intimidasi dan aksi premanisme yang makin meresahkan.
Salah satu biarawati, Sr. Yesina, CB, mengaku tidak berani melawan karena merasa terintimidasi oleh sikap kasar para sopir rental yang menghalangi akses kendaraan.
“Kami hanya ingin melanjutkan perjalanan, tapi dipaksa turun begitu saja. Terik matahari sangat menyengat, tapi kami tidak punya pilihan. Sangat menyedihkan,” ujarnya lirih.
Salah satu biarawati, Sr. Yesina, CB, mengaku tidak berani melawan karena merasa terintimidasi oleh sikap kasar para sopir rental yang menghalangi akses kendaraan.
“Kami hanya ingin melanjutkan perjalanan, tapi dipaksa turun begitu saja. Terik matahari sangat menyengat, tapi kami tidak punya pilihan. Sangat menyedihkan,” ujarnya lirih.
Bukan hanya Sr. Yesina. Francesa Titania, warga asal Maliana, Timor Leste, juga mengalami perlakuan serupa. Ia mengaku kecewa berat karena dipaksa jalan kaki tanpa penjelasan yang jelas.
“Kami datang dengan damai dan punya surat jalan yang sah. Tapi justru diperlakukan seperti orang yang tak punya hak. Ini sangat tidak manusiawi,” katanya dengan nada kesal.
Kepala PLBN Motaain, Maria Fatima Rika, S.STP, yang dikonfirmasi terkait kejadian ini, menegaskan bahwa tindakan tersebut adalah bentuk pelanggaran hukum dan sama sekali tidak mencerminkan prinsip pelayanan negara terhadap pelintas batas.
“PLBN Motaain adalah objek vital nasional, bukan milik individu, desa, atau kelompok manapun. Siapa pun yang melakukan pengusiran, pemaksaan, pemalakan, atau menghalangi layanan sah, sedang melanggar hukum dan akan ditindak,” tegas Maria.
Ia juga mengungkapkan bahwa pihak PLBN telah melakukan berbagai upaya mediasi, termasuk mengundang pihak-pihak terkait seperti Dinas Perhubungan, Kesbangpol, UPTD Perhubungan Darat, TNI, Polri, serta perwakilan masyarakat lokal termasuk Desa Silawan. Namun, hingga kini, kelompok sopir dari Silawan yang diduga sebagai pelaku justru tidak hadir dan menolak ajakan dialog.
“Kami membuka ruang mediasi agar semua pihak bisa menyampaikan aspirasinya secara tertib dan bermartabat. Tapi jika dialog ditolak dan pelanggaran tetap berulang, maka kami akan mendukung tindakan hukum dari aparat TNI-Polri,” jelasnya.
Situasi ini semakin diperburuk dengan keterbatasan jumlah personel keamanan di kawasan PLBN akibat efisiensi anggaran dari pemerintah pusat.
Meski demikian, Maria menegaskan bahwa pihaknya tetap berkomitmen penuh untuk menjaga stabilitas, pelayanan, dan kenyamanan di pintu perbatasan yang menjadi wajah hubungan diplomatik antara Indonesia dan Timor Leste.
“Kami tidak akan membiarkan PLBN dijadikan tempat aksi premanisme. Setiap laporan yang masuk, terutama disertai bukti foto atau video, akan kami teruskan kepada pihak berwajib untuk ditindaklanjuti. Ini bukan lagi soal transportasi—ini soal wibawa negara,” ujarnya.
Dalam waktu dekat, pihak PLBN akan kembali menggelar mediasi dan sosialisasi aturan lintas batas.
“Kami minta kehadiran semua pihak, khususnya dari Desa Silawan. Tidak boleh ada hukum yang berjalan di luar hukum negara,” pungkas Maria Fatima.
Kini, publik menunggu langkah tegas aparat keamanan dalam menuntaskan persoalan ini. Karena jika dibiarkan, citra perbatasan Indonesia bisa rusak, dan kepercayaan masyarakat—baik lokal maupun dari Timor Leste—akan semakin tergerus.
Selain itu, sopir rental Atambua tetap ngotot pihak keamanan segara mengamankan oknum-oknum sopir rental yang berada di PLBN Motaain terus menerus melakukan kejahatan terhadap orang lain. Menurut mereka, jika persoalan ini tidak diklirkan, maka pasti akan terjadi korbannya antara sopir di batas dan sopir Atambua.
“Karena ancaman di sana memanas untuk sopir Atambua tidak ke sana, sebaliknya juga sopir dari sini memanas beri ancaman untuk para sopir rental asal Desa Silawan tidak ke sini. Akhirnya nanti baku hantam sampai korban nyawa,” kata salah satu sopir rental asal Atambua.
Pihak sopir rental Atambua dan juga masyarakat umum saat ini hanya bisa berharap agar pihak kepolisian Polres Beku untuk segera mengambil langkah tegas. (Ronny)


