SINGARAJA — Desa Bondalem di Kecamatan Tejakula, Buleleng, kembali menjadi sorotan. Komunitas pesisir ini merayakan hasil kerja panjang mereka dalam merestorasi terumbu karang melalui Festival Bahari Jaladhi Vistara, yang dibuka langsung oleh Gubernur Bali I Wayan Koster pada Sabtu (25/10).
Festival ini bukan sekadar perayaan, melainkan simbol dari kekuatan masyarakat Bondalem menjaga laut mereka. Sejak 2007, warga telah menenggelamkan ribuan struktur buatan untuk menumbuhkan kembali terumbu karang—sebuah inisiatif lokal yang kini menjadi inspirasi konservasi di Indonesia.
Kesadaran Ekologis yang Tumbuh dari Desa
Festival yang didukung Pemerintah Provinsi Bali ini bertepatan dengan Tumpek Wariga, hari suci yang memperingati hubungan harmonis manusia dan alam. Gubernur Koster menilai momentum ini mencerminkan kesadaran spiritual masyarakat pesisir Bondalem dalam menjaga ekosistem laut—penghasil lebih dari separuh oksigen di atmosfer bumi.
“Acara seperti ini harus menjadi ruang untuk mengembangkan wilayah pesisir secara ekologis dan ekonomi,” ujar Koster dalam sambutannya. Ia mendorong sinergi antara pemerintah provinsi dan kabupaten dalam menyusun action plan untuk revitalisasi kawasan pesisir.
Koster juga menegaskan pentingnya mendukung produksi dan distribusi hasil laut, seperti ikan dan garam, sebagai bagian dari ekonomi biru yang berkelanjutan.
Komunitas yang Menghidupkan Laut
Sejak inisiatif restorasi dimulai, masyarakat Bondalem telah menenggelamkan lebih dari 5.600 substrat buatan dalam berbagai bentuk, mulai dari patung Buddha hingga fish dome. Upaya ini terbukti menciptakan habitat baru bagi biota laut yang menjadi sumber ekonomi sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem.
Tahun ini, festival kembali melanjutkan tradisi itu dengan menenggelamkan 36 substrat baru di perairan Bondalem. Aktivitas ini menjadi simbol komitmen masyarakat terhadap pemulihan laut mereka.
Seni dan Ritus Pesisir
Pembukaan festival dimeriahkan oleh pertunjukan multidisiplin “Tira Aratula”, yang menggabungkan seni tari, musik, dan puisi dalam bentuk doa bagi laut. Tubuh para penampil bergerak menyerupai kehidupan bawah laut, diiringi suara ombak dan angin pesisir.
Kolaborasi seniman Ngurah Sudibia, Azizah Tanjung, Ketut Sumerjana, dan Sujana Suklu menyatukan ekspresi estetis dan kesadaran ekologis. Musik yang disajikan Ketut Sumerjana bahkan disebut memiliki “vibrasi hayati” yang selaras dengan ritme laut dan kehidupan di dalamnya.
Bondalem Jadi Pusat Literasi Maritim
Menurut penggagas festival Ngurah Paramartha, kekuatan konservasi di Bondalem terletak pada gotong royong warganya. Dalam kesempatan itu, ia meluncurkan Gerakan Literasi Maritim, inisiatif yang menyatukan sejarah, budaya, dan ekologi pesisir Bali Utara.
“Konservasi tidak hanya soal biota laut, tapi juga soal pengetahuan dan kesadaran,” ujarnya. “Gerakan ini ingin memastikan laut menjadi ruang belajar bagi semua generasi.”
Festival juga menggelar Kontes Fotografi Bawah Laut yang diikuti 38 fotografer dari berbagai daerah, mendokumentasikan keindahan dan pemulihan terumbu karang Bondalem yang menakjubkan.
Dukungan Ahli dan Akademisi
Pakar konservasi laut Ketut Sarjana Putra, anggota Advisory Council Oceanic Society, menegaskan bahwa literasi harus berbasis aksi nyata.
“Bondalem pernah kehilangan sekitar 50 meter garis pantai akibat abrasi. Itu tidak boleh terulang,” katanya. “Merestorasi terumbu karang berarti melindungi kehidupan pulau dan masyarakatnya.”
Dukungan juga datang dari akademisi internasional. Georgia Lennox, kandidat PhD dari Murdoch University, memuji keberhasilan Bondalem sebagai contoh konservasi berbasis komunitas.
“Kekuatan restorasi di sini terletak pada kesadaran warga yang secara rutin memantau dan merawat ekosistem laut,” ujarnya.
Sementara Kadek Fendi Wirawan, kandidat PhD dari Universitas Diponegoro, menjelaskan bahwa kondisi arus muara di Tejakula membantu menjaga kestabilan salinitas dan mendorong regenerasi karang secara alami.
Bondalem, Simbol Harapan Laut Indonesia
Bagi Paramartha, festival ini adalah ruang refleksi sekaligus laboratorium hidup bagi pendidikan dan konservasi laut yang inklusif.
“Sinergi antara masyarakat, pemerintah, media, LSM, dan akademisi adalah kunci keberlanjutan,” ujarnya. “Bali adalah pulau yang sibuk melayani orang lain, tapi kita juga harus menjaga kebutuhan alamnya sendiri.”
Dengan semangat gotong royong dan literasi maritim, Bondalem kini dikenal bukan hanya sebagai desa nelayan, tapi sebagai simbol harapan baru bagi gerakan pelestarian pesisir Indonesia.
“Substrat atau fish dome bukan sekadar karya teknik,” kata Sarjana Putra, “tapi juga simbol ekonomi biru yang hidup di tangan masyarakat.”
Melalui Festival Jaladhi Vistara, Bondalem menegaskan bahwa laut bukan hanya sumber daya—tetapi sumber kehidupan, pengetahuan, dan masa depan yang harus dijaga bersama.***


