30 Persen Pasien RSJ Bangli Disebabkan Adat Istiadat

1340

Denpasar, Theeast.co.id — Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan, sebanyak 30 persen pasien yang masuk rumah sakit jiwa (RSJ) adalah karena adat istiadat Bali.

Artinya, para pasien itu menjadi sakit, stres, gila karena beban adat yang terlalu berat. Hal ini disampaikan Pastika saat audiensi (simakrama) dengan ratusan masyarakat Bali secara terbuka di Ksarnawa Art Center Denpasar.

Penjelasan Pastika ini untuk menjawab keluhan seorang warga bernama Ketut Wenten yang mengeluh dan mengadu ke forum simakrama bahwa dirinya didenda oleh salah satu desa adat di Kota Denpasar sebesar Rp 5 juta. “Saya ini krama tamiu (pendatang) dari luar Denpasar.

Karena beberapa persoalan di desa adat, saya didenda Rp 5 juta. Ini sangat memberatkan buat saya. Saya akhirnya memutuskan untuk keluar dari banjar,” ujarnya.

Menanggapi keluhan itu, Pastika langsung meminta agar persoalan ini menjadi perhatian para prajuru adat di seluruh Bali. Menurut Pastika, apa yang dialami oleh Ketut Wenten itu baru pada tingkat ngambek.

“Ini namanya ngambek. Bagaimana kalau banyak krama Bali yang pindah agama. Dan agama lain sangat siap menampung hal itu. Ini sangat berbahaya untuk Bali ke depannya,” ujarnya.

Ia mengatakan, zaman dahulu itu berbeda dengan zaman sekarang. Jangan sampai terjadi perubahan besar-besaran di Bali. Ini memang tidak bisa dilakukan secara revolusioner, tetapi pelan-pelan, maua tidak mau harus berubah.

Bila merujuk pada data pasien RSJ Bangli yang berjumlah 30 persen sakit karena adat istiadat, maka para prajuru adat di Bali harus mulai pelan-pelan berpikir untuk melakukan penyesuaian, tetapi tidak sampai mengurangi nilai-nilai fundamental adat dan budaya Bali.

Selain itu, krama Bali harus memiliki kualitas sumber daya yang tinggi. Sebab, zaman semakin terbuka, perubahan tidak bsia dicegah.

Warga Bali harus berpacu dengan kualitas. Bila tidak, maka Bali akan terlindas. Beberapa kasus di dunia kerja sudah terbukti.

Banyak orang Bali tidak disukai karena kualitas dan etos kerja yang kurang menguntungkan perusahan. Kalau warga Bali tidak kuat, maka akan tersingkir. Dan akan diisi oleh orang luar Bali.

Lalu orang Bali marah, dengan alasan rasis, diskriminatif, non Hindu dan sebagainya. Padahal persoalan mendasarnya karena taruhan kualitas, etos kerja dan sebagainya. (Axelle Dhae)