Sita SHM Fotocopy dan Minta Pelapor Keluarkan Kuasa Hukumnya, Penyidik Polresta Denpasar Dilaporkan ke Propam

316
raktisi dan kuasa hukum dari I Gusti Putu Wirawan yakni Siti Sapurah atau Ipung. Foto : dok - Arnold

DENPASAR, The East Indonesia – Praktisi dan kuasa hukum dari I Gusti Putu Wirawan yakni Siti Sapurah atau Ipung bersama rekan melaporkan penyidik unit 2 Polresta Denpasar ke Propam. Laporan dilayangkan Ipung ke Propam Polda Bali tanggal 20 Januari 2025. Saat dikonfirmasi, Ipung menjelaskan alasan laporan tersebut. “Kami mengadukan penyidik kepolisian Unit 2 Polresta Denpasar yang melakukan pelayanan dalam menindaklanjuti laporan kami dari tingkat Dumas, Penyelidikan, Laporan Polisi sampai ke penyidikan. Namun ada hal-hal yang kami anggap keluar dari SOP aparat kepolisian
dalam menangani Perkara Pidana umum yaitu Tindak Pidana Penggelapan atas Sertifikat Hak Milik (SHM),” ujarnya Senin (20/1/2025).

Ipung menjelaskan keanehan prosedur yang dilakukan oleh penyidik Unit2 Polresta Denpasar. Dumas sudah dilakukan sejak tanggal 29 Juni 2024 di SPKT Polresta Denpasar untuk melakukan pelaporan Tindak Pidana Penggelapan atas Setifikat Hak Milik (SHM) yang masih di wilayah hukum Kota Denpasar oleh korban I Gusti Putu Wirawan yang sekaligus atas nama dalam SHM nomor : 4527/ Desa Sidakarya seluas 1.095 m2. Setiap ada panggilan terhadap teradu, selalu ada alasan menunda. Teradu baru bisa hadir dalam panggilan ketiga. Baru pada tanggal 17 Oktober 2024, kasusnya dinaikan dari penyelidikan ke penyidikan, gelar perkara dilakukan, dan diharapkan sudah memiliki dua alat bukti. Bahkan saat di hadapan penyidik, teradu membawa SHM asli namun tidak disita penyidik. “Penyidik sempat menghubungi kami bahwa SHM asli masih aman atas nama I Gusti Putu Wirawan. Lalu kami bertanya kapan disita SHM asli tersebut. Dijelaskan bahwa menunggu semua saksi diperiksa. Namun hingga saat ternyata tidak bisa disita,” ujarnya.

Pada tanggal 22 Oktober 2024, penyidikan meminta membuat LP (Laporan Polisi). Tim mendatangi SPKT untuk membuat Laporan Polisi dengan Nomor : LP/B/563/X/2024/SPKT/POLRESTA DENPASAR/ POLDA BALI. Pelapor langsung diperiksa. Keesokan harinya para saksi diperiksa. Saat pemanggilan terlapor, kasusnya sama yakni mengulur-ulur waktu hingga panggilan ketiga baru diperiksa. “Kami kembali bertanya, kapan SHM korban disita. SHM yang asli. Penyidik mengatakan, tidak bisa langsung menyita dengan alasan itu dokumen negara, harus mengajukan Penetapan Sita Khusus di PN Denpasar apalagi Terlapor punya paman sebagai Hakim di PN Denpasar dan punya paman seorang Anggota Dewan dan saya harus hati-hati,” ujarnya.

Padahal dalam Pidana Umum, biasa dan tidak perlu mengajukan Penetapan Khusus terlebih dahulu karena Penyidik punya wewenang untuk menahan secara paksa karena hal itu diatur di dalam KUHAP karena status perkara aquo sudah ditingkat penyidikan. Semestinya alat bukti sebagai Barang Bukti sudah ada di tangan penyidik tapi hal ini tidak di lakukan. Penyidik menjelaskan jika Penetapan Sita Khusus tidak dapat dikabulkan oleh PN Denpasar dengan alasan Perkara aquo bukan Tipikor atau TPPU.

Pada tanggal 9 Januari 2025, kuasa hukum menerima SP2HP dari Penyidik yang menjelaskan bahwa Penetapan Sita Khusus tidak di kabulkan oleh PN Denpasar. Dan hanya disita SHM foto copy yang sudah dilegalisir, untuk dijadikan alat bukti dalam pemberkasan. “Kami melihat ada upaya di luar SOP. Sebab kalau SHM foto copy yang dilegalisir, jangan di tangan terlapor. Kami juga ada. Penyidik menjelaskan jika terlapor punya kuasa hukum. Ada keluarganya yang hakim dan anggota dewan, jadi tidak sembarang menyita dokumen negara,” ujarnya.

Ipung juga mengatakan bahwa jika hanya SHM foto copy, maka sudah jelas di pengadilan akan kalah. Sebab, hakim akan meminta dokumen asli. Kejanggalan lain adalah penyidik pernah memanggil pelapor atau kliennya secara diam-diam. Hal ini terjadi pada Sabtu tanggal 18 Januari 2025. Kliennya disuruh menghadap kepada penyidik yang difasilitasi oleh seorang anggota Propam Polresta Denpasar.

“Anggota Propam itu mengatakan kepada klien kami untuk menemui penyidik yaitu bapak BRIPKA I GEDE AGUS SUADHARMA, S.H., M.H. namun dilarang mengajak pengacara. Setelah sampai di hadapan penyidik klien kami diberitahu beberapa hal termasuk menyerahkan semua SP2HP kembali. Padahal semua SP2HP sudah diterima. Mereka meminta agar Ipung dikeluarkan sebagai kuasa hukum sehingga bisa dibantu kasusnya,” ujarnya. Karena berbagai kejanggalan ini maka dirinya melaporkan kasus tersebut ke Propam Polda Bali.(Arnold)