Usai Rapat Permusyawaratan Hakim MK, Sengketa Pilkada Belu Akan Kembali Disidangkan dan Polri Perketat Pengamanan Wilayah

2096
Para Hakim panel 3 yang menyidangkan Sengketa Pilkada Belu 2024 dan pengamanan di Kabupaten Belu. Foto : Dok - Rony

ATAMBUA, The East Indonesia – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) terus melakukan proses persidangan terhadap sengketa Pilkada tahun 2024.

Dilansir HUMAS MKRI, Mahkamah Konstitusi (MK) usai menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan untuk 310 Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2024 terhitung sejak 8 Januari 2025 hingga 31 Januari 2025.

Pada Jumat (31/1/2025), Majelis Hakim Konstitusi yang terbagi dalam tiga panel juga telah menyelesaikan sidang dengan agenda Jawaban KPU selaku Pihak Termohon, Keterangan Pihak Terkait, dan Keterangan Bawaslu.

Dalam keseluruhan persidangan, baik saat pemeriksaan terhadap Permohonan Pemohon, maupun mendengarkan Jawaban KPU dan Keterangan Pihak Terkait dan Bawaslu, semua pihak sudah diberikan kesempatan yang adil untuk menjelaskan argumen dan menguraikan fakta yang dimiliki.

Sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2025, penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah untuk berikutnya memasuki tahapan pembahasan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim.

Dalam rapat ini, seluruh hakim konstitusi secara kolektif bersama akan mempertimbangkan segala aspek.

Beberapa aspek yang menjadi pertimbangan, di antaranya mempertimbangkan Permohonan, Jawaban Termohon, tanggapan atau keterangan Pihak Terkait dan Bawaslu, serta argumen dan fakta yang muncul dalam persidangan untuk diputuskan apakah pemeriksaan akan dilanjutkan atau perkara dihentikan.

Dari hasil Rapat Permusyawaratan Hakim, MK direncanakan akan menggelar sidang Pengucapan Putusan dan/atau Ketetapan pada Selasa dan Rabu (4 – 5/2/2025) mendatang.

Dalam persidangan ini akan diketahui perkara akan lanjut ke tahap pembuktian atau perkara dihentikan. Terhadap perkara yang lanjut ke tahap pembuktian, selanjutnya MK akan menggelar sidang pemeriksaan lanjutan yang akan dilaksanakan pada 7 hingga 17 Februari mendatang.

Dalam persidangan pembuktian, masing-masing pihak akan diberikan kesempatan untuk mengajukan saksi ataupun ahli.

Untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, para pihak diberi hak untuk mengajukan saksi ataupun ahli, secara keluruhan maksimal enam orang.

Sementara dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wali kota, secara keseluruhan para pihak diperbolehkan mengajukan maksimal empat orang saksi maupun ahli.

Adapun mekanisme pengajuan daftar nama saksi dan atau ahli, para pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan paling lambat satu hari kerja sebelum hari persidangan.

Selanjutnya untuk menjamin keamanan bagi pencari keadilan, MK menggelar rapat koordinasi bidang keamanan persiapan pengamanan bersama Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Pusat pada Jumat (31/1/2025) sore di Gedung III MK, Jakarta.

Rakor tersebut membahas mengenai sejumlah strategi pengamanan. Harapannya MK dapat menjamin keamanan seluruh pihak, namun tetap memberikan kemudahan kepada para pencari keadilan.

Dalam pertemuan tersebut MK menerima sejumlah masukan mengenai manajemen pergerakan pengunjung sidang, baik para pihak maupun pendukung, agar tercipta suasana tertib.

Dalam kesempatan itu, Budi Wijayanto selaku Kepala Biro Umum MK menjelaskan bahwa putusan yang akan dibacakan pada 4 – 5 Februari 2025 merupakan putusan untuk perkara-perkara yang tidak akan dilanjutkan ke tahap pembuktian. Sehingga, diperlukan dukungan dari pihak Kepolisian untuk memberikan dan menjamin pengamanan terhadap MK dan seluruh pihak.

“Semangat pimpinan kami Pak Kapolres, yaitu tetap ingin memberikan kemudahan kepada para pencari keadilan,” ujar Budi.

Lebih lanjut Budi menjelaskan bahwa semangat MK tanpa pagar tetap dapat dilanjutkan tanpa ada sekat-sekat walaupun keamanan dan pengamanan merupakan suatu kunci yang tidak dapat dilupakan. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Kapolres yang pada pokoknya aman tapi tidak mencekam.

Adapun Kapolres Jakarta Pusat, Susatyo memberi keterangan bahwa Polres Jakarta Pusat sangat memberikan dukungan pengamanan pelaksanaan putusan di MK.

Lebih lanjut Kapolres menjelaskan bahwa secara internal, selama persidangan, Kepolisian telah membagi penanggungjawab Perwira pada 3 Korwil.

Korwil A untuk Jawa dan Sumatera; Korwil B untuk Sulawesi, Bali, NTB, dan NTT; serta Korwil C untuk Maluku dan Papua.

Untuk teknis operasional di lapangan, Polres juga melakukan penebalan pada titik-titik strategis, baik di dalam ruang sidang maupun luar persidangan sebagai upaya mitigasi resiko pengamanan.

Sementara itu, sidang Sengketa Pilkada Belu pun direncanakan akan dilanjutkan pada hari Rabu tanggal 05 Februari 2025 jam 13:30 WIB

Sidang Sengketa Pilkada Belu 2024 berikutnya ini akan dilaksanakan dengan agenda sidang Pengucapan Putusan dan/atau Ketetapan yang akan dilaksanakan di Gedung MK RI 1 Lantai 2.

Untuk diketahui, Pemohon adalah pasangan calon nomor urut 2, Taolin Agustinus-Yulianus Tai Bere yang mana Vicente Hornai Gonsalves seharusnya tidak bisa berpasangan dengan Willybrodus Lay sebagai peserta Pilbup Kabupaten Belu. Vicente Hornai Gonsalves pernah melakukan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) terhadap anak, sebagaimana tercantum dalam Putusan Pengadilan Negeri Atambua Nomor: 186/PID/B/2003/PN.ATB tanggal 17 Januari 2004.

Namun, Vicente Hornai Gonsalves tidak jujur dalam pemenuhan persyaratan administrasi calon pasangan bupati dan wakil bupati Kabupaten Belu. Padahal, pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak menjadi salah satu mantan terpidana yang tidak diperbolehkan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah.

Anggota Komisioner Bawaslu Kabupaten Belu, Christafora dihadapan Hakim MK menyampaikan, pihaknya menerima laporan terkait dugaan pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilihan yang dilakukan Vicente Hornai Gonsalves.

Laporan tersebut pada pokoknya menyebut Vicente Hornai Gonsalves memberikan keterangan palsu bahwa dirinya tidak pernah dipidana.

Setelah melakukan kajian dan telaah hukum, laporan pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilihan yang dilakukan Vicente Hornai Gonsalves diduga melanggar Pasal 184 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

Selanjutnya, laporan tersebut ditindaklanjuti hingga ke proses penyidikan Polres Belu.

Namun sampai dengan batas akhir penyidikan, Vicente Hornai Gonsalves tidak kooperatif setelah dilakukan pemanggilan selama tiga kali.

“Dan setelah diadakan pencarian oleh penyidik, terlapor (Vicente Hornai Gonsalves) juga tidak ditemukan,” ujar Christafora di Ruang Sidang Pleno, Gedung I MK, Jakarta, Kamis (23/1/2025).

Bawaslu Kabupaten Belu bersama Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) akhirnya tidak dapat menetapkan calon Wakil Bupati nomor urut 1 itu sebagai tersangka, karena Vicente Hornai Gonsalves tidak mau dimintai keterangan.

Namun dalam penanganan oleh pihaknya, mereka menyimpulkan Vicente Hornai Gonsalves diduga melakukan pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme dalam tahapan pendaftaran pasangan calon.

“Sehingga Bawaslu Kabupaten Belu mengeluarkan rekomendasi pelanggaran administrasi pemilihan kepada KPU Kabupaten Belu untuk ditindaklanjuti sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Christafora.

“KPU Kabupaten Belu menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu Kabupaten Belu dengan menyatakan bahwa pelanggaran administrasi hasil kajian Bawaslu Kabupaten Belu terbukti sebagai pelanggaran administrasi pemilihan yang dilakukan oleh calon wakil bupati atas nama Vicente Hornai Gonsalves. Sehingga tidak tepat rekomendasi ditujukan kepada KPU Kabupaten Belu, karena prosedur formal dalam tahapan pencalonan dilaksanakan sesuai tata cara, prosedur, dan mekanisme,” sambungnya.

Dalam sidang tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam tanggapan terhadap jawaban pihak termohon KPUD Belu menyatakan secara tegas apabila mengikuti pasal 7 huruf g berkaitan dengan keseluruhan unsur yang ada disitu terkait dengan mantan terpidana itu harus mengemukakan secara jujur bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana kepada publik.

“Apakah mekanisme ini sama sekali tidak dilakukan untuk memenuhi syarat itu. Karena tadi saya tangkap dari yang disampaikan termohon tadi itu dia hanya membuat catatan saja. Apakah kepada publiknya kalau dalam ketentuan undang-undang itu kan jelas menyatakan bahwa mengemukakan kepada publik, dengan cara apa, apakah itu sama sekali tidak dilakukan? Tolong dijelaskan,” pinta Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Kuasa hukum Termohon, Thomas Mauritius Djawa pun menjelaskan bahwa Paslon nomor urut 1 ini pada form BB Pernyataan tidak mencetang pada kolom mantan terpidana sehingga dianggap semuanya terpenuhi dan sama sekali tidak dilakukan penyampaian ke publik.

Menjawab juga pertanyaan itu, Ketua KPU RI, Mochamad Afifuddin, menjelaskan dihadapan pada Hakim MK bahwa karena dalam proses pendaftaran sebagaimana formulir pernyataan, yang bersangkutan tidak mencontreng sebagai mantan terpidana maka tidak ada tindak lanjut misalnya dia harus memberikan, menyampaikan ke publik ke media bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana termasuk dokumen-dokumen lainnya.

“Jadi sumber awalnya memang pernyataan mantan terpidananya tidak di contreng,” pungkasnya.

Ditanggapi Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih : “Itukan kalau dibaca pasal 7 huruf g itu jelas sekali mengemukakan secara jujur. Jujur mengemukakan. Kalau begitu apakah itu termasuk jujur atau tidak Pak?”

Ketua KPU RI : “Itu kan ditemukan setelah proses penetapan. Sudah selesai semua baru ada informasi soal ini. Jadi saat proses pencalonan tidak ada termasuk dalam proses ini kan ada pengawasan dan seterusnya. Itu tidak ada informasi yang diterima teman-teman, itu menurut teman-teman.”

Sementara untuk pihak terkait, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengemukakan bahwa dalam bukti yang disampaikan pihak terkait mengatakan peristiwa pidana ini terjadi sudah 20 tahun yang lalu dengan usia Vicente 28 tahun.

“Katanya ada istilahnya biasa adatnya sana. Apa emang begitu adatnya sana itu melarikan perempuan itu di Belu atau Atambua itu hal yang biasa?,” tanyanya.

Ridwan Syaidi Tarigan sebagai kuasa hukum Pihak Terkait, Paslon WL-VH menjawab, “Terima kasih yang mulia berdasarkan informasi yang kami dapat bahwasanya di sana itu agak sedikit sulit untuk melamar seorang gadis karena biaya mahar yang terlalu mahal sehingga sering terjadi seperti itu yang mulia.”

Hakim Enny: “Pada waktu itu apakah memang konteksnya sedang ingin menikahi gadis itu atau gimana?.”

Ridwan: “iya konteksnya adalah sudah ingin menikahi pada saat itu. (Tidak dinikahi) Karena tidak direstui. Karena yang terkait itu (Vicente Hornai Gonsalves) mengetahui bahwasan itu salah berdasarkan perundang-undangan sehingga dia menerima putusan tersebut dan itu juga menjalankan hukuman adat yang mulia.”

Hakim Enny: “berikut kenapa dia tidak kooperatif. Beberapa kali ketika dipanggil lewat beberapa pembahasan di Bawaslu. Apa yang melatarbelakangi tidak kooperatif, tidak datang ke situ.”

Kuasa Hukum WL-VH : “Izin yang mulia, untuk tahapan ini kami koordinasi dengan calon bupati. Jadi kita memang tidak koordinasi dengan calon Wakil Bupati yang Mulia. Langsung ke calon Bupati.”

Hakim Enny: “calon bupati tahu persis bahwa ada peristiwa itu?”

Kuasa Hukum WL-VH: “(calon) Bupati tahu ada peristiwa itu yang Mulia.”

Hakim Enny: “Juga tidak kemudian kooperatif untuk kemudian meminta kepada (calon) wakil hadir dalam proses pembahasan.”

Kuasa Hukum WL-VH : Sudah dilakukan oleh (calon) Bupati Yang Mulia”

Hakim Enny: “(calon) Bupati sudah meminta untuk hadir?”

Kuasa Hukum WL-VH : “Sudah Yang Mulia ”

Hakim Enny: “Tapi tidak hadir juga?”

Kuasa Hukum WL-VH : “Saya tidak paham untuk itu Yang Mulia.” (Ronny)